Dua kelompok orang yang tergabung dalam Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia serta Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia menggugat berlakunya Pasal 268 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bunyi norma tersebut yakni, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.”
Pada sidang perdana yang teregistarasi dengan nomor 17/PUU-VIII/2015, salah seorang perwakilan Pemohon yakni, Boniman menyampaikan kepada majelis hakim konstitusi bahwa pihaknya sangat khawatir dengan pelaksanaan dari norma tersebut, khususnya terkait dengan eksekusibterhadap putusan hukuman mati bagi terpidana narkotika dan korupsi. Mengutip pernuataan Jaksa Agung A.M Prasetyo yang mengatakan bahwa hukuman mati tidak bisa dilaksanakan karena Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan PK bisa berkali-kali, Pemohonmeminta agar pemaknaan pasal tersebut diperluas dengan ketentuan bahwa PK tidak menghalangi eksekusi.
”Oleh karena itu, kami kami menginginkan arti yang diperluas bahwa PK tidak menghalangi eksekusi itu termasuk juga untuk pelaksanaan hukuman mati. Dan ini karena kami juga me-refer, mengadopsi atau mendalilkan, mendasarkan pada putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya yang menolak tentang penghapusan tentang hukuman mati dan kami juga sebutkan beberapa Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 dan juga Putusan Nomor 2, 3/PUU-V/2007, dan Putusan PUU Nomor 15/PUU-X/2012,” ujar Boniman, di ruang pleno MK, pada Senin (02/02).
Bonimanberargumentasi, kejahatan narkotika merupakan bagian dari kejahatan yang terorganisasi dan termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan juga internasional. Sama juga dengan Korupsi, di mana korupsi juga sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sehingga melihat dampak buruk kejahatan narkotika bagi generasi muda dan bangsa ini, dan tindak pidana korupsi yang dilakukan para koruptor, maka hukum sangat dituntut untuk memberikan efek jera secara tegas dan tidak pandang bulu, bahkan hukuman mati pun layak dijatuhkan kepada terpidana narkotika, terutama kepada produsen, bandar, pengedar, bahkan pengguna narkotika.
Dalam petitumnya para Pemohon meminta kepada majelis hakim konstitusi untuk menyatakan Pasal 268 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk pula berlaku untuk putusan pidana mati.
Nasihat Hakim
Usai mendengarkan pernyataan dari Pemohon, Hakim konstitusi Wahiduddin Adams memberikan nasihat agar Pemohon lebih mempertajam permohonannya, apakah ini pertentangan norma atau implementasi norma.
“Jadi coba nanti dipertajam supaya ini apakah pertentangan norma atau implementasi norma. Yang kedua yang Pasal 268 ayat (1) itu ya putusan itu kalau pengertian putusan di ketentuan umumnya jelas, lalu kalau kita kembalikan bahwa berupa pembinaan kembali kepada KUHP kita Pasal 10, ya, termasuk pidana mati sebetulnya, ya, tidak menunda itu,” ujarnya.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan, bahwa Undang Undang tersebut telah jelas. Apabila diputus sesuai permohonan Pemohon, justru akan menimbulkan diskriminasi. (panji erawan)