Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ((UU Arbitrase) kembali diuji secara materiil oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (3/2) di Ruang Sidang MK. Perkara yang teregistrasi di Kepaniteraan MK dengan Nomor 19/PUU-XIII/2015 ini dimohonkan oleh Direktur PT. Indiratex Spindo, Ongkowijoyo Onggowarsito.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon berkeberatan dengan berlakunya Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 UU Arbitrase terkait dengan ketentuan yang mengatur batas waktu penyerahan pendaftaran atau putusan Arbitrase Internasional. Pasal 67 ayat (1) menyatakan “Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sementara Pasal 71 menjabarkan tentang “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrasekepada Panitera Pengadilan Negeri”.
Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Fahmi M. Bachmid, menjelaskan telah terjadi ketidakpastian hukum dengan berlakunya Pasal 67 ayat (1). Hal itu karena tidak ada pengaturan mengenai batas akhir penyerahan pendaftaran atau putusan Arbitrase Internasional. Sedangkan pihak yang ingin melakukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase Internasional dibatasi waktu 30 hari. Hal tersebut menurut Pemohon dinilai menyebabkan diskriminasi hukum bagi Pemohon yang bisa saja kehilangan hak untuk melakukan pembatalan Putusan Arbitrase dikarenakan pasal a quo tidak mensyaratkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk melakukan pemberitahuan adanya pendaftaran/penyerahan Putusan Arbitrase Internasional kepada pihak-pihak yang terlibat dalam arbitrase tersebut.
“Pemohon merasa dizalimi atas undang-undang tersebut. Dengan demikian adanya undang-undang yang di satu sisi mengatur adanya ketentuan yang tidak membatasi waktu bagi pihak badan hukum asing untuk mendaftarkan atau deponir adanya putusan internasional. Namun di satu sisi mengatur adanya ketentuan yang melarang dilakukannya pembatalan putusan arbitrase melebihi waktu 30 hari sudah mencederai rasa keadilan dan Pemohon diperlakukan tidak sama di hadapan hukum,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Pemohon merupakan salah satu pihak yang diputus dalam putusan arbitrase internasional pada tanggal 14 Desember 2012, yakni putusan The International Cotton Association yang ada di Liverpool. Putusan tersebut didaftarkan pada tanggal 5 Mei 2014 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun Pemohon baru mengetahui adanya pendaftaran tersebut pada tanggal 14 Agustus 2014. Pendaftaran dan penyerahan arbitrase internasional tanpa batas waktu, mengakibatkan ketidakpastian hukum karena pihak Pemohon pelaksanaan putusan arbitrase internasional bisa kapan saja memndaftarkan putusannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan bahkan ada yang didaftarkan bahkan lebih dari satu tahun setelah diputuskan oleh Lembaga Arbitrase Internasional.
“Dan ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi Pemohon maupun badan hukum yang ingin melakukan hubungan hukum dengan Pemohon. Pendaftaran dan penyerahan putusan arbitrase internasional yang tidak ditentukan batas waktu kontras, dengan ketentuan pendaftaran dan penyerahan arbitrase nasional yang secara tegas membatasi sampai dengan 30 hari sejak putusan diucapkan,” papar Fahmi.
Untuk itulah, Pemohon meminta MK menyatakan bahwa pasal-pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945.
Menanggapi permohonan Pemohon, anggota panel yang memeriksa permohonan, Hakim Konstitusi Muhammad Alim menyarankan agar pemohon memperjelas permohonannya karena dalam permohonannya hanya tercantum Direktur PT. Indiratex Spindo Ongkowijoyo Onggowarsito sebagai Pemohon.
“Apakah dia kedudukannya sebagai perseorangan atau sebagai direktur PT? Karena di dalam Pasal 51 ayat (1) itu, kan keduanya boleh. Perseorangan boleh atau badan hukum publik atau badan hukum privat. Tetapi ‘kan harus jelas yang mana dia. Ini kalau hanya satu orang, mohon maaf ya karena ini yang berperkara itu adalah PT-nya, ini kan jadi masalah,” ujarnya.
Sementara anggota panel lainnya, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna meminta agar pemohon memperbaiki petitum permohonan yang inkonsistensi satu dengan yang lainnya. Pada satu poin meminta agar Majelis Hakim menyatakan agar Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 UU Arbitrase inkonstitusional bersyarat, namun pada poin lainnya justru meminta agar kedua pasal tersebut dinyatakan konstitusional bersyarat. “Tegasnya itu Anda meminta kami untuk memberikan penafsiran bahwa ini adalah konstitusional bersyarat dalam pengertian konstitusional kalau ditafsirkan begini. Ataukah seperti yang diposita yang maksudnya? Anda mengatakan ini unconstitutional jika begini? Yang mana yang sebenarnya yang Anda ini kan ini?” tandas Palguna. (Lulu Anjarsari)