UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (2/2) siang. Perkara No. 18/PUU-XIII/2015 ini dimohonkan oleh Emus Mustarman bin Harja, terpidana yang ditahan di LP Kelas II-B Cianjur. Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 263 ayat (1) dan Pasal 270 KUHAP.
Sebelumnya, Pemohon telah melakukan kasasi terhadap kasusnya dan telah ada putusan terhadap kasasi yang diajukan Pemohon. Putusan kasasi tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Agung (MA) pada tingkat kasasi menolak permohonan kasasi terdakwa Emus Mustarman bin Harja dan menjatuhkan pidana terhadapnya dengan pidana penjara selama 4 tahun dan pidana denda sebesar Rp 200 juta dan menghukum pula membayar uang pengganti sebanyak Rp 118 juta.
Selanjutnya, Pemohon mengajukan surat permohonan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan kasasi tersebut kepada MA melalui Ketua cq. Panitera PN Kelas 1A Khusus/Tipikor Bandung dan dijawab yang pada pokoknya menyatakan PN Kelas 1A Khusus/Tipikor Bandung belum dapat menerima permohonan PK karena seluruh berkas perkara kasasi belum ada dan belum dikirim oleh MA ke PN Kelas 1 A Khusus/Tipikor Bandung.
“Terhadap penolakan permohonan PK tersebut, Pemohon mengajukan permohonan sidang praperadilan atas dasar penangkapan dan penahanan ilegal,” jelas kuasa hukum Pemohon, Haitami, kepada Majelis Panel Hakim Konstitusi saat menjelaskan duduk perkara gugatannya.
Namun, permohonan sidang praperadilan itu ditolak oleh PN Kelas 1B Cianjur. Pemohon kemudian mengajukan permohonan yang sama kepada PN Kelas 1A Khusus/Tipikor Bandung, tapi lagi-lagi permohonan ditolak. Atas peristiwa tersebut, Pemohon menilai Pasal 263 ayat (1) dan Pasal 270 KUHAP tidak dilaksanakan oleh para penegak hukum secara tepat dan bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan dalil-dalil itulah Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak boleh ditafsir lain daripada apa yang tertulis yaitu terpidana/narapidana berhak mengajukan PK kapanpun waktunya terpidana/narapidana akan mempergunakan haknya.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”
Pemohon juga meminta MK menyatakan bahwa Pasal 270 KUHAP tidak boleh ditafsir lain daripada apa yang tertulis yaitu pelaksanaan putusan tetap dilakukan berdasarkan salinan putusan tetap, bukan berdasarkan petikan putusan.
Pasal 270 KUHAP menyebutkan, “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.”
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Aswanto menasehati Pemohon agar membuka Peraturan MK (PMK) No. 6 Tahun 2005 yang mengatur tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. “Tidak perlu mencantumkan kata ‘melawan’ dalam permohonan Saudara. Karena berperkara di MK adalah pengujian norma, bukan pengujian kasus konkret dan yang menjadi batu uji adalah konstitusi,” jelas Aswanto.
“Saudara juga harus menjelaskan bahwa norma dalam Pasal 270 KUHAP bertentangan dengan salah satu pasal dalam konstitusi. Karena MK tidak mengadili implementasi norma, apakah norma yang ada dalam pasal, ayat dalam sebuah undang-undang bertentangan UUD,” tambah Aswanto.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati bahwa di satu sisi Pemohon bisa melakukan PK karena belum mendapatkan salinan putusan. Tapi dalam Pasal 268 KUHAP secara tegas menyebutkan bahwa PK sebenarnya tidak menghalangi eksekusi. Selain itu Suhartoyo menyatakan Pasal 270 KUHAP malah menjadi tidak jelas kalau dimaknai bahwa “petikan tidak berlaku”. “Harus salinan kan maksud Saudara? Di Pasal 270 KUHAP sudah jelas disebutkan adanya salinan. Jadi tidak ada yang perlu dipersoalkan lagi, itu hanya masalah penerapan atau implementasi,” tandas Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang memimpin sidang, meminta Pemohon agar memperbaiki permohonan secara total. Alasannya, karena dalil-dalil permohonan Pemohon tidak jelas menyatakan apa yang menjadi kerugian konstitusionalnya. Patrialis juga mempertanyakan status kuasa hukum Pemohon karena mencantumkan dua profesi yang berbeda, sebagai advokat dan akuntan publik. (Nano Tresna Arfana)