Karena substansi permohonan pernah dimohonkan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan MK tidak berwenang mengadili permohonan yang diajukan oleh PNS Pertanahan asal Kabupaten Kutai Timur Ricky Elviandi Afrizal. Ketetapan dengan Nomor 134/PUU-XII/2014 ini dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Rabu (28/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
Arief menjelaskan terhadap substansi permohonan, sebelumnya pernah diajukan permohonan pengujian oleh Pemohon yang sama, yaitu dalam permohonan Nomor 91/PUU-X/2012. Meskipun dalam permohonan Nomor 91/PUU-X/2012 yang dimohonkan pengujian konstitusionalnya oleh Pemohon adalah Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok dan dalam permohonan a quo Pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 21 huruf a UU ASN, tetapi setelah Mahkamah membahas secara saksama permohonan Pemohon, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon merupakan kasus konkret yang menyangkut penerapan norma hukum. “Bukan pengujian konstitusionalitas norma, sehingga Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon,” ujar Arief.
Selain itu, Arief memaparkan Pasal 48A ayat (1) huruf a dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menentukan dalam hal Mahkamah tidak berwenang mengadili suatu permohonan maka Mahkamah mengeluarkan ketetapan. “Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon,” tandas Arief.
Dalam pokok permohonannya, Ricky yang hadir melalui fasilitas video conference MK di Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 21 huruf a UU ASN. Pasal 7 (1) UU ASN menyatakan “PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional”. Sementara Pasal 21 huruf (a) UU ASN menyatakan “PNS berhak memperoleh a. gaji, tunjangan, dan fasilitas”.
Pemohon yang sebelumnya menjabat sebagai Pj. Kepala Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Timur, merasa dengan adanya ketentuan UU Aparatur Sipil Negara tersebut mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi pegawai negeri sipil pemohon.
“Penghapusan, peniadaan, dan menyimpangkan masa pemberlakuan status dan hak PNS serta adanya suatu pernyataan yang berpotensi menjadi fakta hukum, telah melanggar prinsip keadilan, persamaan dalam hukum, dan pemerintahan. Padahal kepala BPN RI tidak pernah mengeluarkan surat keputusannya tentang pemberhentian Pemohon sebagai PNS, PJ kepala seksi pengendalian dan pemberdayaan pada kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Timur,” paparnya.
Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon yang mengajukan permohonan tanpa diwakili oleh kuasa hukum meminta agar Majelis Hakim MK menyatakan UU ASN, yakni Pasal 7 ayat (1) khususnya frasa yang berbunyi PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan pegawai ASN yang memiliki nomor induk pegawai secara nasional dan Pasal 21 huruf a khususnya frasa yang berbunyiPNS berhak memperoleh gaji/tunjangan adalah konstitusional sepanjang diartikan termasuk juga mencakup nomor induk pegawai milik Pemohon. (Lulu Anjarsari)