Fathul Hadie Utsman, Sumilatun, Aripin, Hadi Suwoto, dan Sholehudin yang berprofesi sebagai guru Non PNS merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya aturan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Fathur Hadie yang sudah mengajukan tujuh perkara pengujian undang-undang dalam dua hari menuturkan hak-hak yang menyangkut hak guru, terutama yang diangkat oleh satuan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah yang selama 10 tahun tidak terpenuhi. Walaupun telah ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah dalam sejumlah Peraturan Pemerintah, nyatanya guru honorer yang semestinya sudah diangkat sebagai PNS tidak kunjung diangkan dan tidak digaji secara layak. “Semoga hak-hak guru dapat terpenuhi, yang selama ini tiap hari tidak sepi dari demo, demo, dan demo. Kita mencoba lewat Mahkamah Konstitusi semoga putusannya dapat membantu hak-hak daripada guru untuk dapat terpenuhi,” ujarnya dalam sidang perkara nomor 10 dan 11/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (28/1).
Salah satu norma yang merugikan adalah Pasal 1 butir 11 UU Guru dan Dosen, yang menyatakan sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik terhadap guru. “Kalau melihat pasalnya sudah jelas bagus, tapi oleh pemerintah dimaknai berbeda bahwa yang berhak untuk ikut sertifikasi guru hanyalah guru yang berstatus sebagai guru PNS atau guru yayasan, guru tetap yayasan, sedang guru yang non PNS walaupun mengajarnya sudah ada 25 tahun tidak berhak mengikuti sertifikasi guru,” jelasnya
Kerugian lain adalah guru yang sudah mendapatkan sertifikat karena mengajar di swasta, lalu mengajar di sekolah negeri, sertifikasinya dicabut dan tunjangan profesinya tidak dicairkan. “Bahkan gajinya pun jauh di bawah standar yang selayaknya diperoleh oleh guru dan dosen,” tegasnya.
Kedua, Pasal 13 ayat (1) UU Guru dan Dosen yang menyatakan pemerintah wajib menyediakan anggaran untuk program sertifikasi bagi semua guru. Menurutnya, ketentuan tersebut tidak masalah, namun pemerintah mengartikannya lain, yakni guru non PNS yang bekerja di satuan yang didirikan oleh pemerintah tidak diikutkan, tidak boleh ikut program sertifikasi guru.
Lebih lanjut, Pasal 14 yang menyatakan, semua guru dalam rangka melaksanakan tugas keprofesionalannya berhak memperoleh penghasilan yang layak di atas kebutuhan hidup minimum yang berupa, diterangkan dalam Pasal 15 ayat (1) berupa gaji pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, maslahat tambahan, dan lain-lain tunjangan yang berhak untuk didapatkan oleh guru. Kenyataannya, pemerintah juga menyatakan yang berhak untuk memperoleh tunjangan profesi ini hanyalah guru negeri atau guru tetap yayasan, sedangkan guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah namun belum berstatus sebagai PNS tidak berhak untuk memperoleh tunjangan-tunjangan seperti berikut.
“Sehingga guru non PNS itu gajinya antara 100 (ribu) sampai sekitar 500(ribu)-an. Itu pun mengajar penuh mereka tetap mengajar karena dedikasinya memang tinggi dan berharap untuk bisa di PNS-kan, itu saja, dan mempunyai masa depan yang lebih baik,” ujarnya.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai termasuk guru yang mengajar atau yang diangkat oleh satuan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah, dalam hal ini guru non PNS.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta pemohon memperkuat kedudukan hukumnya. “Mungkin kalau Pemohon I, II, II mempunyai kualifikasi yang berbeda, nah itu tentu berbeda hak yang akan dilanggar. Nah, itu tolong diperhatikan,” ujar Hakim Anggota I Dewa Gede Palguna.
Palguna menambahkan, pemohon perlu menguraikan pasal-pasal dari undang-undang atau ketentuan dari undang-undang yang diuji, kemudian menjelaskan norma tersebut bertentangan dengan hak konstitusional pemohon. “Hak konstitusionalnya yang mana? Hak atas hidup yang layak, dan lain-lain. Mengapa bertentangan? Nah, jelaskan, yang layak itu bunyinya begini, bertentangannya di sini,” imbuhnya.
Sedangkan Hakim Anggota Suhartoyo mengatakan posisi Fathul sebagai kuasa sekaligus Pemohon membingungkan karena ada pemohon lain sehingga tidak jelas siapa yang memiliki kedudukan hukum. “Siapa yang mempunyai legal standing dalam persidangan hari-hari selanjutnya nanti? Apakah ketika Pak Fathul berhalangan kemudian Pemohon yang lain bisa mewakili diri sendiri selaku Prinsipal? Jadi harus ditegaskan kalau memang sebagai Pemohon atau kuasa,” ujarnya. (Lulu Hanifah)