Sidang Pengujian Undan-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3K) yang antara lain dimohonkan oleh WALHI, ICW, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) kembali digelar untuk kedelapan kalinya pada Selasa (27/1) di Ruang Sidang Pleno MK. Kali ini, Pemerintah menghadirkan saksi dan ahli untuk menampik dalil Para Pemohon tentang adanya kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang memanfaatkan hasil hutan di kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
I Made Subadia Gelgel selaku Staf Khusus Kementerian Kehutanan hadir pada sidang kali ini sebagai saksi. Seperti diketahui, Made Subadia merupakan Ketua Tim Perumus RUU P3H. Made Subadia mula-mula mengungkapkan pada tahun 2000-an, Indonesia mengalami laju kerusakan yang begitu besar yaitu tiga juta hektar per tahunnya. Kerusakan hutan yang sedemikian tingginya diakibatkan aksi pembalakkan liar, kebakaran hutan yang diawali dengan pendudukan hutan secara ilegal, serta akibat perkebunan liar maupun penambangan liar. Berbagai penyebab kerusakan hutan tersebut menjadi dasar perlunya dibentuk UU P3H mengingat UU di bidang kehutanan lainnya tidak dapat menjawab masalah dimaksud. UU P3H memang memuat upaya penegakkan hukum terhadap kejahatan terorganisasi untuk memberi efek jera.
“Penguatan ini tercermin dalam ketentuan pemberatan sanksi, perluasan larangan, penguatan proses penyidikan, termasuk koordinasi dengan lembaga lain dalam pengumpulan saksi-saksi penyidikan, perluasan subjek hukum, pemodal penadah pejabat, korupsi, dalam hal ini kami tekankan termasuk pejabat juga di dalam undang-undang dirancang sanksi pidananya, alat bukti percepatan peradilan. Dibandingkan dengan undang-undang yang telah ada, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 (UU P3H) muatan materinya jauh lebih komprehensif,” ungkap Made Subadia.
Kejahatan Terorganisasi
Meski demikian, Made Subadia percaya masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dapat turut menjaga kelestarian hutan. Hal itu terbukti dengan adanya peran serta masyarakat lokal menjaga hutan di Bali maupun Kalimantan. Namun, lanjut Made Subadia, tidak bisa dipungkiri kehadiran kelompok yang dapat merusak hutan dengan melakukan kegiatan pemanfaatan yang dapat merusak hutan seperti aktivitas tambang liar maupun perkebunan liar. Made Subadia mengungkapkan hal seperti itu terjadi di beberapa tempat di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.
Meski UU P3H memuat aturan pencegahan dan pemberantasan pengrusakan hutan, namun UU a quo juga mengakui hak tradisional masyarakat lokal. Sehingga, kekhawatiran pihak tertentu tentang eksistensi masyarakat lokal sebenarnya tidak perlu terjadi karena Made Subadia memastikan aktivitas individu masyarakat lokal tidak diatur dalam UU a quo. “Gambaran ini bisa dilihat dalam pasal pengertian orang per orangan maupun pengertian kejahatan terorganisasi yang memuat kriteria terstruktur dan dengan tujuan merusak hutan. Serta mengecualikan kegiatan kelompok peladang tradisional,” tegas Made Subadia.
Namun, untuk menghindari adanya modus pengrusakan hutan oleh para pemodal besar, Made Subadia menjelaskan bahwa kelompok individu yang hendak memanfaatkan kayu di dalam kawasan hutan untuk kepentingan sendiri perlu meminta izin. Izin tersebut didapat dari pejabat setempat.
Sementara itu, Pemerintah juga menghadirkan ahli pembangunan kehutanan yang juga professor riset LIPI, yaitu Chairil Anwar. Ia mengungkapkan bahwa dilihat dari aspek pengelolaan hutan sebagai bagian dari sumber daya alam, Pemerintah, cendekiawan, dan masyarakat telah sangat khawatir akan begitu cepatnya laju degradasi hutan yang belum berimbang dengan upaya merestorasi kembali fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan yang berkelanjutan.
Menukil Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Chairil mengatakan pengelolaan hutan sebagai kekayaan negara harus diarahkan untuk tetap memperhatikan fungsi ekologi, fungsi produksi, fungsi sosial dan fungsi ekonomi baik bagi masyarakat maupun negara. Dilihat dari berbagai fungsi hutan, Chairil menegaskan perlindungan atas hutan dapat memainkan peranan penting dalam menjamin keberlangsungan kehidupan makhluk hidup. Ia pun melihat jiwa dan filosofi yang terkandung di dalam UU P3H telah mencakup semua aspek perlindungan hutan untuk kemaslahatan manusia.
Masyarakat Adat dan Lokal
Sedangkan ahli Pemerintah lainnya yaitu Rahayu mengatakan sesuai Putusan MK No. 31/PUU-V/2007 dan 6/PUU-VI/2008 definisi masyarakat lokal dengan masyarakat hukum adat tidak sama. Rahayu mengatakan tidak semua kelompok masyarakat dapat disebut sebagai masyarakat hukum adat. Maksudnya, tidak semua masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan merupakan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 19450. Sebab, dalam kenyataannya tidak semua komunitas masyarakat hukum adat masih eksis karena ada komunitas yang ternyata tidak lagi mampu mempertahankan adat istiadatnya sehingga kekuatan hukum adat yang menjadi dasar kehidupannya pudar hingga kemudian hilang sama sekali.
Pengertian frasa “sepanjang masih hidup” dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 diartikan oleh Rahayu sebagai masyarakat hukum adat yang masih hidup sajalah yang akan mendapat pengakuan dan penghormatan dari Negara. Sedangkan syarat sesuai dengan perkembangan masyarakat dimaknai bahwa ketentuan-ketentuan yang berlaku pada masyarakat hukum adat tidak boleh bertentangan dengan kemajuan masyarakat.
Perlindungan terhadap hak masyarakat adat tersebut menurut Rahayu juga diatur dalam UU P3H. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 11 ayat (3) U P3H yang mengatur hak asyarakat yang hidup di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan termasuk di dalamnya masyarakat hukum adat untuk melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri. “Hal ini dilakukan tiada lain adalah untuk melindungi masyarakat itu sendiri, di samping untuk menjaga agar hutan tidak disalahgunakan oleh mereka yang tidak berhak. Dan demi menjaga kelestarian hutan itu sendiri, izin semacam ini bukan meniadakan hak yang dimiliki oleh masyarakat tersebut, tetapi semata-mata hanya membatasi agar hak-hak tersebut dinikmati oleh mereka yang benar-benar berhak, di samping untuk menghormati hak-hak orang lain,” tegas Rahayu. (Yusti Nurul Agustin)