Fathul Hadie Utsman, calon jemaah haji daftar tunggu merasa ketentuan pengelolaan keuangan haji dan penyelenggaraan ibadah haji saat ini bertentangan tentang konstitusi karena aturan tersebut memperbolehkan umat muslim beribadah haji lebih dari satu kali. Padahal, kuota ibadah haji saat ini sangat terbatas.
Tanpa didampingi kuasa hukum, Fathul menguji Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 23 ayat (2), dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan sejumlah pasal dalam UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Adapun Pasal 4 ayat (1) UU Penyelenggaraan Ibadah Haji menyatakan:
“Setiap Warga Negara yang beragama Islam berhak untuk menunaikan Ibadah Haji dengan syarat: a. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah; dan b. mampu membayar BPIH”
Menurutnya, aturan tersebut menjadi inkonstitusional bersyarat karena menyatakan setiap muslim dapat menjalankan ibadah haji lebih dari satu kali. Padahal masalah haji saat ini yang menjadi perhatian umum adalah soal kuota yang sangat terbatas. “Seorang calon jemaah haji harus membayar setoran awal atau apa pun sebutannya terlebih dahulu, padahal pelaksanaan ibadah haji masih sekitar 20 sampai 25 tahun lagi,” ujarnya dalam sidang perdana perkara nomor 12 dan 13/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (27/1).
Dia menilai, ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU a quo harus dimaknai khusus untuk orang Islam yang belum pernah haji saja yang boleh haji, sedangkan yang sudah pernah haji tidak boleh haji apabila masih terdapat daftar haji tunggu atau waiting list. “Kenapa demikian? Karena dalam agama Islam ini kewajiban haji itu hanya sekali, al hajju maratun fama zaadaz fahuwa tathawwu, haji itu sekali, selebihnya adalah sunah,” imbuhnya.
Selain itu, pemohon juga mempersoalkan masalah setoran awal biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) saat calon jemaah mendaftar haji sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pemohon menilai pengertian membayar BPIH itu harus diterjemahkan sebagai BPIH pada tahun berjalan, seperti pasal-pasal yang lain menyebutkan bahwa calon jemaah haji harus membayar BPIH setelah mendapat persetujuan dari presiden dan DPR, dan sesuai dengan kuota yang ditetapkan.
“Berarti di sini kami anggap bahwa yang diharuskan dibayar oleh calon jemaah haji adalah BPIH tahun berjalan, bukan setoran awal BPIH. Kalau setoran awal BPIH itu sifatnya tidak boleh memaksa dan harus sukarela. Untuk mendaftar itu tidak ada kaitannya dengan setoran awal BPIH karena pada dasarnya mendaftar haji daftar tunggu itu hanyalah seperti mengambil nomor urut antrean saja,” jelasnya.
Lebih lanjut, Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan bahwa nilai manfaat dari BPIH digunakan untuk operasional penyelenggaraan ibadah haji, pemohon memaknai setoran awal BPIH yang dimaksud adalah setoran awal BPIH tahun berjalan. “Bukan calon jemaah haji harus membayar, kemudian bunganya untuk operasional yang bukan untuk calon jemaah haji yang menabung. Atau untuk jelasnya kita tidak tahu untuk apa,” ujarnya.
BPIH, menurut pemohon, adalah hak milik pribadi dari calon jemaah haji daftar tunggu yang harus dilindungi oleh undang-undang. Juga harus dijamin bahwa hak milik pribadi tidak boleh diambil, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh siapa pun secara sewenang-wenang. Setoran awal BPIH dianggap merugikan calon jemaah haji karena tak jarang para calon jual aset dan sebagainya padahal ibadah haji baru 20 tahun lagi. Contoh kerugian lain adalah pada tahun 1989 ketika terja devaluasi yang sangat dahsyat, sehingga nilai rupiah merosot atas dolar. Daftar tunggu haji yang waktu itu sudah lunas, harus membayar 3 kali lipat dari ongkos haji yang sebelumnya. Padahal mestinya, pada waktu itu sudah lunas dan cukup untuk tiga kali haji kalau uangnya dilindungi dengan kurs nilai mata uang dolar.
Terakhir, Pasal 30 ayat (1) yang menyatakan bahwa masyarakat dapat menyelenggarakan bimbingan haji yang terkenal dengan KBIH. Kegiatan tersebut dianggap tidak mengandung kepastian hukum yang jelas karena dalam praktiknya, KBIH itu harus membiayai sendiri penyelenggaraan bimbingannya dengan menarik tambahan biaya di luar BPIH yang telah ditetapkan. “Dalam pasal-pasal sebelumnya sudah dikatakan bahwa BPIH itu sudah mencakup biaya untuk bimbingan. Kenapa kalau yang menyelenggarakan masyarakat masih ada tambahan lagi?” imbuhnya.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan pemohon untuk menegaskan petitum. “Petitumnya apakah ini bertentangan secara bersyarat atau tidak bertentangan secara bersyarat. Anda bisa memilihnya tetapi itu pemaknaannya tidak sama,” ujar Hakim Anggota Muhammad Alim. (Lulu Hanifah)