Kewajiban pengunduran diri secara permanen bagi Pegawai Negeri Sipil yang mencalonkan diri sebagai pejabat Negara, baik Presiden, Wakil Presiden, kepala daerah, maupun anggota legislatif, yang diatur dalam sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dipersoalkan oleh tiga orang PNS, masing-masing Abdul Halim Soebahar, Sugiarto dan Fatahillah.
Dalam sidang sidang pendahuluan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Selasa (27/1), para pemohon melalui kuasa hukumnya, Fathul Hadi Utsman, mengatakan pasal-pasal dalam UU ASN yang mengatur kewajiban pengunduran diri secara permanen dari pekerjanya sebagai PNS dinilai menimbulkan ketidak pastian hukum.
Lebih lanjut para pemohon dalam Perkara Nomor 8/PUU-XIII/2015 dalam permohonannya beralasan ketidakpastian hukum dalam UU ASN itu terjadi karena adanya ketentuan yang saling bertentangan dalam UU yang sama. Fathul Hadi mengatakan, dalam UU ASN PNS diperbolehkan menjadi pejabat Negara seperti menteri atau jabatan setingkat menteri, Hakim Konstitusi, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Komisioner Komisi Yudisial, komisioner Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan pejabat Negara lainya yang diatur dalam UU, dan hanya diwajibkan mundur sementara dari pekerjaannya sebagai PNS. Namun di sisi lain menurut Fathul Hadi, PNS yang mencalonkan diri sebagai pejabat Negara dalam jabatan anggota Presiden, Wakil Presiden, kepala daerah dan anggota legislatif, harus mengundurkan diri secara permanen sejak mencalonkan diri untuk jabatan-jabatan tersebut.
Dengan argumentasi tersebut, para pemohon meminta kepada MK untuk memberikan penafsiran konstitusional, bahwa ketentuan tersebut konstitusional jika ditafsirkan pejabat pimpinan tinggi madya, pejabat pimpinan tinggi pratama dan PNS lainnya dapat mencalonkan diri sebagai pejabat Negara, dengan kewajiban mengundurkan diri sementara sebagai PNS, dan jika masa jabatannya telah berakhir sebagai pejabat Negara tetap berstatus sebagai PNS tanpa kehilangan haknya.
Terhadap permohonan itu, majelis Hakim Konstitusi memberikan nasihat agar pemohon menuliskan secara lengkap dalam objek permohonan, pasal-pasal mana saja yang diuji dan bunyinya secara lengkap, sehingga sinkron dengan bagian argumentasi dan tuntutan dalam permohonan. Selain itu majelis Hakim Konstitusi juga meminta kepada pemohon untuk memperjelas bunyi pada bagian tuntutan, apakah konstitusional bersayarat, yaitu pasal tersebut konstitusional dan menjadi bertentangan dengan konstitusi jika ditafsirkan lain, atau inkonstitusional bersayarat, yaitu pasal teresbut inkonstitusional, dan perlu diberikan penafsiran konstitusional supaya tidak bertentangan dengan konstitusi.
Dengan sejumlah nasihat yang telah diberikan, pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya, dan dperbaikan tersebut diserahkan kepada kepaniteraan MK tanpa melalui persidangan. (ilham)