Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang dimohonkan oleh sejumlah komisioner Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Provinsi, Senin (26/1) di Ruang Sidang Pleno MK. Kali ini, Pemerintah menghadirkan dua orang ahli, yaitu Ahmad M. Ramli dan Harjono. Keduanya menegaskan sifat independen atau kemandirian Komisi Informasi bukan tanpa batas.
Ramli yang turut berkontribusi dalam penyusunan UU KIP menyampaikan latar belakang penyusunan norma dalam KIP yang didalilkan Para Pemohon telah mereduksi kemandirian Komisi Informasi. Ramli yang kala penyusunan RUU KIP menjadi Ketua Inter Kementerian juga menyampaikan filosofi dibentuknya UU ini. Ramli mengatakan keterbukaan informasi publik yang menjadi sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara, badan publik lainnya, dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik merupakan filosofi dasar dalam pembuatan UU KIP. Dengan kata lain, keterbukaan informasi publik diharapkan dapat mendorong good governance yang selanjutnya akan mendorong demokratisasi hingga menciptakan keadilan untuk semua masyarakat.
Lebih lanjut, Ramli mengatakan UU KIP merupakan instrumen hukum nasional yang mewajibkan keterbukaan informasi publik tidak hanya bagi penyelenggara negara tetapi juga untuk badan publik nonpemerintah lainnya. Agar UU KIP kuat fungsinya, maka penyusun UU a quo juga mensyaratkan dibentuknya satu lembaga yang harus memberikan kekuatan agar undang-undang ini dapat dilaksanakan dengan semestinya. “Kehadiran lembaga yang notabene dalam undang-undang ini adalah Komisi Informasi memiliki fungsi strategis untuk menjalankan, sekaligus memelihara dan menjamin terlaksananya undang-undang ini dengan baik. Hal ini sejalan dengan terminologi komisi informasi sebagai lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaanya, menetapkan petunjuk teknis, standar layanan informasi publik, dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi, dan/atau ajudikasi nonlitigasi,” jelas Ramli.
Lewat ketiga terminologi tersebut, Ramli menegaskan tugas Komisi Informasi, yang diwakili komisionernya, adalah menjalankan UU KIP dan menjaga eksistensi UU a quo sesuai amanat Pasal 23 UU KIP. Pasal a quo menyatakan tugas Komisi Informasi yaitu, menjalankan UU KIP dan peraturan pelaksanaanya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik, menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.
Dari tugas Komisi Informasi yang diatur lewat Pasal 23 tersebut, Ramli menegaskan bahwa pembuat UU KIP memberikan tugas yang sifatnya implementatif dan tugas lainnya sebagai penyelesaian sengketa. Dengan demikian, lanjut Ramli, kedudukan Komisi Informasi sebagai kuasi peradilan hanyalah merupakan salah satu fungsi Komisi Informasi. Padahal, metode penyelesaian sengketa dimaksud dapat dilakukan dengan penyelesaian sengketa ajudikasi lewat pengadilan arbitrase dan penyelesaian sengketa nonajudikasi lewat mediasi, konsiliasi, serta negosiasi.
“Jadi dengan demikian, ketika Komisi Informasi melakukan mediasi, maka para komisioner sedang berada pada kompetensi penyelesaian sengketa nonajudikasi. Tetapi, ketika mereka selesai menyelesaikan dengan mediasi dan tidak mendapatkan putusan yang baik, kemudian mereka milih nonajudikasi, maka mereka berada pada penyelesaian ajudikasi. Sehingga, putusan-putusan ajudikasi ini memiliki kekuatan hukum yang mengikat seperti pengadilan atau arbitrase,” jelas Ramli.
Terkait soal Sekretariat Komisi Informasi yang dianggap telah direduksi kemandiriannya, Ramli mengatakan dalam hal penyelesaian sengketa, Sekretariat Komisi Informasi hanya bersifat fasilitatif dan tidak memiliki kewenangan apapun dalam memutus perkara. Yang bertindak menyelesaikan sengketa adalah komisioner yang independen dan tidak dapat diintervensi oleh siapa pun.
Terkait dengan keberadaan unsur pemerintah dalam Komisi Informasi, baik pusat maupun daerah, Ramli menjelaskan keberadaan unsur pemerintah dalam satu lembaga negara bukanlah hal yang perlu dipersoalkan karena pada praktiknya keterwakilan pemerintah dalam komisi informasi pusat juga dilakukan melalui proses seleksi dan fit on proper test oleh DPR. Sehingga, calon dari pemerintah maupun calon komisioner lainnya tidak dibedakan.
Bukan Tanpa Batas
Sementara itu, Harjono yang juga merupakan mantan Hakim Konstitusi menegaskan bahwa kemandirian atau independensi tidak bermakna bahwa lembaga negara dimaksud lepas dan tidak mempunyai kaitan apapun dengan lembaga negara lain. Kemandirian atau independensi diberikan sebatas mandiri dan independen pada soal-soal yang berkaitan dengan fungsi yang diberikan kepada lembaga tersebut. Harjono menegaskan bahwa kemandirian atau independensi lembaga sebenarnya mempunyai dua aspek, yaitu aspek eksternal dan aspek internal.
Harjono menjelaskan bahwa aspek eksternal deklaratoir atau pemberitahuan kepada publik tentang kemandirian atau independensi lembaga yang bersangkutan. Sedangkan aspek internal mempunyai sifat obligatoir atau kemandirian justru memberikan kewajiban-kewajiban bahkan batasan dan larangan tertentu kepada pelaksana dari lembaga yang bersangkutan. Sebab, justru dengan adanya kewajiban, batasan, atau larangan, kemandirian atau independensi lembaga dapat direalisasi.
“Kemandirian bukan dimaksudkan sebagai atribut hak istimewa lembaga dari yang diberi status mandiri untuk berbuat sesukanya tanpa batas, tapi justru kemandirian menjadi kewajiban dari pemangku tugas lembaga tersebut. Kemandirian atau independensi kekuasaan kehakiman bukanlah hak istimewa hakim, tapi justru kewajiban hakim dan untuk kemudian dibuatlah aturan yang justru membatasi hakim untuk berbuat tanpa batas,” urai Harjono.
Terkait dengan kemandirian Komisi Informasi, Harjono menjelaskan bahwa Komisi Informasi wajib untuk mandiri ketika menjalankan fungsinya. Namun, pengertian mandiri yang dimiliki oleh Komisi Informasi tidak dapat dipersamakan dengan makna kekuasaan yang merdeka sebagaimana yang disebut dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Menurut Harjono, Komisi informasi bukanlah penyelenggara kekuasaan kehakiman dan tidak termasuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UUD 1945. Hal tersebut sesuai dengan original intent pembuatan UU a quo yang tidak bermaksud menjadikan Komisi Informasi sebagai lembaga peradilan.
“Oleh karenya tidak tepat kalau kemudian ketentuan tentang komisi informasi akan diuji dengan Pasal 24D Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ahli berkesimpulan bahwa permohonan Pemohon baik dari kelompok pertama yaitu yang terdiri dari atas anggota komisi informasi baik pusat maupun daerah, kelompok kedua yang bukan anggota komisi informasi baik pusat maupun daerah, tidak berdasar atau tidak beralasakan hukum karena Pasal 24 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai batu uji permohonan tidaklah tepat,” tegas Harjono. (Yusti Nurul Agustin)