Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan tidak dapat menerima pengujian UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang dimohonkan Mohamad Sangaji (Pemohon I) dan Veri Yonnevil (Pemohon II). Sementara permohonan Wibi Andrino (Pemohon III) dan Muannas (Pemohon IV) ditolak Mahkamah.
“Permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima. Menolak permohonan Pemohon III dan Pemohon IV,” ujar Ketua Pleno Arief Hidayat yang didampingi para hakim konstitusi lainnya pada sidang pengucapan putusan Perkara No. 124/PUU-XII/2014 pada Kamis (22/1) sore.
Berdasarkan Putusan No. 51-52-59/PUU-VI/2008 bertanggal 18 Februari 2009, Pemohon I, dan Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Menimbang oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, Pemohon III (Wibi Andrino), dan Pemohon IV (Muannas) memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan.
Sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden” dalam melakukan pengujian atas undang-undang.
Pemohon III dan Pemohon IV mendalilkan, berlakunya Pasal 327 ayat (1) huruf a bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 karena tidak eksplisit menyebutkan berapa jumlah wakil ketua yang pasti untuk DPRD Provinsi yang memiliki keanggotaan lebih dari 100 orang, padahal realitas politik pada Pemilu legislatif 2014 jumlah keanggotaan DPRD Provinsi DKI Jakarta berjumlah 106 orang sedangkan dalam UU serta pasal tersebut belum diatur mengenai jumlah yang lebih dari 100 anggota dewan.
Dalam Putusan Nomor 93/PUU-XII/2014, bertanggal 5 November 2014, Mahkamah telah mempertimbangkan, antara lain: “Selain itu, menurut Mahkamah, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 73/PUU-XII/2014 tersebut, bahwa UUD 1945 tidak menentukan bagaimana susunan organisasi lembaga DPR termasuk cara dan mekanisme pemilihan pimpinannya. UUD 1945 hanya menentukan bahwa susunan DPR diatur dengan Undang-Undang, begitupun dengan DPRD Kabupaten/Kota, UUD 1945 tidak menentukan bagaimana susunan lembaga DPRD Kabupaten/Kota termasuk cara dan mekanisme pemilihan pimpinannya. Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 hanya menentukan “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”.
Menurut Mahkamah, hal itu berarti UUD 1945 tidak menentukan bagaimana susunan lembaga DPRD Kabupaten/Kota termasuk cara dan mekanisme pemilihan pimpinannya DPRD Kabupaten/Kota karena hal tersebut adalah ranah kebijakan pembentuk UU untuk mengaturnya. Hal tersebut diperjelas dalam Pasal 375 ayat (3) UU MD3 yang menentukan bahwa tata cara pembentukan, susunan, serta wewenang dan tugas alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, mekanisme pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPRD sebagaimana diatur dalam UU a quo tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil serta persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana didalilkan para Pemohon, oleh karena hal tersebut merupakan ranah kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dari pembentuk UU yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Sebagaimana diketahui, pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Pemohon mendalilkan permohonannnya bahwa Pasal 327 ayat (1) huruf a UU MD3 mengandung sifat multitafsir dan tidak mengakomodasi keadaan yang terjadi di DPRD DKI Jakarta. Sebab, menurut Pemohon jumlah anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta pada periode 2009-2014 sebanyak 106 orang dan seharusnya berpengaruh terhadap susunan dan kedudukan dari pimpinan dewan pada DPRD Provinsi DKI Jakarta.
Menurut Pemohon, seharusnya terdapat penambahan satu wakil ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta dari empat wakil ketua menjadi lima wakil ketua mengikuti jumlah anggota dewan yang ada saat ini.
Sementara terhadap putusan perkara No. 123/PUU-XII/2014, MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima. Sebagaimana diketahui, Pemohon perkara No. 123 mendalilkan bahwa proses pengisian dan pengangkatan alat kelengkapan DPRD telah menghilangkan hak-hak konstitusional Pemohon. Sebab, Pasal 327 ayat (2) UU MD3 mengatakan bahwa pimpinan DPRD atau ketua DPRD berasal dari partai pemenang. Ketentuan tersebut menurut Pemohon menyebabkan partai dengan perolehan kursi terbanyak di DPRD secara otomatis akan menjadi pimpinan DPR. (Nano Tresna Arfana)