Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan uji materi Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) tidak dapat diterima. Menurut MK, permohonan tersebut tidak jelas maksud dan tujuannya.
“Mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis (22/1).
Menurut MK, permohonan perkara nomor 34/PUU-XII/2014 yang dimohonkan oleh Erwin Erfian Rifkinnanda tersebut kabur, sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 huruf a dan Pasal 31 ayat (1) UU MK. Oleh karena itu, MK tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon.
Pasal 29 ayat (1) menyatakan:
“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena: a) meninggal dunia; b) permintaan sendiri; atau c) diberhentikan”
Sedangkan Pasal 29 ayat (3), menyatakan:
“Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD”.
Pemohon mempersoalkan norma yang membolehkan kepala daerah atau wakil kepala daerah berhenti karena permintaan sendiri. Menurutnya, pemilihan kepala daerah berlangsung dengan biaya yang tidak sedikit. Dana yang telah dikeluarkan oleh negara untuk memilih kepala daerah menjadi mubazir apabila kepala daerah terpilih berhenti begitu saja untuk mendapatkan kedudukan atau kekuasaan yang lebih tinggi.
Berlakunya Pasal 29 ayat (1) UU Pemda dinilai pemohon memungkinkan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti dan meninggalkan kewajiban dan tugas yang telah diamanahkan oleh rakyat pemilih, demi mengejar ambisi pribadi dirinya dan kelompok partainya. Keinginan dan harapan rakyat pemilih untuk memajukan diri demi memajukan bangsa dan negaranya melalui program kerja pemerintah daerah menjadi tidak sepenuhnya terlaksana karena kepala daerahnya tidak ada.
Sedangkan Pasal 29 ayat (3) dinilai merugikan pemohon karena kepala daerah yang ingin mengundurkan diri menyampaikan pengunduran dirinya kepada DPRD. Seharusnya, kepala daerah berkewajiban menyampaikan niat pengunduran diri tersebut langsung kepada rakyat melalui mekanisme referendum atau penentuan pendapat rakyat. “Siapapun yang dipilih oleh rakyat harus menyelesaikan tugasnya secara sempurna terkecuali dengan alasan yang tidak terhindarkan atau alasan yang merupakan hal yang tak terelakan,” tegas pemohon pada sidang pendahuluan.
Mempertimbangkan dalil-dalil permohonan tersebut, MK menilai permohonan Pemohon tidak jelas maksud dan tujuannya. “Di satu sisi Pemohon menginginkan agar siapapun yang dipilih oleh rakyat menjadi kepala daerah harus menyelesaikan tugasnya secara sempurna terkecuali dengan alasan yang tidak terhindarkan (force majeure) atau alasan yang merupakan hal yang tak terelakkan (act of God), namun di sisi lain, Pemohon menginginkan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemda dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Hakim Anggota Wahiduddin Adams.
Dengan demikian, seandainya sebagian dalil Pemohon tersebut benar dan permohonan dikabulkan oleh MK, justru hal yang diinginkan oleh Pemohon terkait mekanisme pemberhentian kepala daerah menjadi tidak ada norma yang mengaturnya. Artinya, antara posita dengan petitum permohonan Pemohon tidak sejalan
Selain itu, Pemohon juga tidak menjelaskan secara rinci mengenai kerugian konstitusional Pemohon akibat berlakunya UU a quo. Padahal MK dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan telah memberikan nasihat mengenai hal tersebut. “Mahkamah telah memanggil Pemohon secara sah dan patut untuk hadir dalam persidangan tanggal 28 April 2014, namun ternyata Pemohon tidak hadir untuk menyampaikan perbaikan permohonannya,” imbuhnya. (Lulu Hanifah)