Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Permohonan ini diajukan oleh Yonas Risakotta dan Baiq Oktavianty pada 16 Juni 2014 lalu. Pemohon menguji materi Pasal 6 ayat (1), penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilpres terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
“Amar putusan mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” tegas Ketua MK Arief Hidayat pada sidang putusan perkara nomor 52/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, pada Rabu (21/01).
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan norma yang menentukan bahwa gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, atau walikota atau wakil walikota yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden harus meminta izin kepada Presiden dan tidak mengundurkan diri dari jabatan dimaksud bertentangan dengan UUD 1945.
Terhadap dalil tersebut, menurut Mahkamah, pemerintahan yang demokratis tidak menghendaki terjadinya penumpukan kekuasaan pada satu tangan (sentralisasi). Oleh karenanya, pemerintahan mengharuskan adanya pemencaran kekuasaan, baik secara horizontal maupun desentralisasi kekuasaan secara vertikal sehingga kekuasaan pemerintahan negara terbagi ke dalam pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.
Selain itu, sebenarnya hal-ihwal mengenai pengaturan lebih lanjut terkait dengan desentralisasi pemerintahan secara konstitusional menjadi ruang lingkup kebijakan pembentuk Undang-Undang secara terbuka (open legal policy). Pengaturan tersebut meliputi keharusan bagi gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, walikota atau wakil walikota yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden harus meminta izin kepada Presiden. Oleh karena itu, norma Pasal 27 ayat (1) yang menentukan keharusan meminta izin kepada Presiden tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Namun demikian, secara konstitusional harus dianggap benar pula bahwa gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, walikota atau wakil walikota yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden meminta izin kepada Presiden, tidak mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Pasalnya, orang itu telah mengikatkan diri ke dalam struktur pemerintahan negara, dalam hal ini adalah pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berada di bawah Presiden. Dengan demikian, keharusan meminta izin tersebut tidak dapat diartikan sebagai suatu pengaturan yang memperlakukan secara berbeda terhadapnya dari warga negara lain. (panji erawan)