Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan permohonan uji materi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dimohonkan oleh PT Chevron Pacific Indonesia yang merasa dirugikan dengan adanya regulasi yang dianggap multi tafsir terkait ijin pengelolaan limbah. Permohonan diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah dalam kapasitasnya sebagai General Manager Unit Sumatra PT Chevron Pacifik Indonesia yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan telah dipidanakan atas kasus pengelolaan limbah tanpa izin.
Dalam putusan setebal 129 halaman yang dibacakan pada Rabu, 21 Januari 2015, Mahkamah Konstitusi berpendapat, terdapat ketidakjelasan aturan ijin pengelolaan limbah dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mahkamah menilai, terhadap subjek hukum yang belum memperoleh perpanjangan izin, ketika yang bersangkutan mengajukan permohonan perpanjangan izin dan proses tersebut masih berlangsung, maka secara materiil sesungguhnya harus dianggap telah memiliki izin. Seandainyapun terjadi keterlambatan perihal dikeluarkannya izin, apabila keterlambatan tersebut bukan merupakan kesalahan dari pihak yang mengajukan izin, maka tidak layak Pemohon diperlakukan sama dengan subyek hukum yang tidak memiliki izin sama sekali.
Selain itu, MK juga masih memperhitungkan aspek masa transisi dikeluarkannya izin pengelolaan limbah. Pengelolaan limbah merupakan hal mutlak yang harus diselesaikan tanpa menunggu izin yang terkesan hanya bersifat administratif belaka. Dalam hal ini, MK lebih mengedepankan aspek urgensi pengelolaan limbah yang berdampak luas bagi kehidupan manusia. “Pertimbangan lain terkait dengan anggapan hukum demikian adalah karena keadaan tersebut adalah keadaan transisional. Izin yang baru belum terbit dan izin lama secara formal telah tidak berlaku adalah suatu keadaan anomali, padahal terkait dengan objek hukum dalam permasalahan tersebut adalah limbah B3, limbah yang dapat berdampak buruk dan mengancam kelestarian hidup.” ujar Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Selain itu, MK juga sependapat dengan kekhawatiran Pemohon yang mensinyalir tidak adanya koordinasi antar institusi penegak hukum karena adanya kata “dapat” dalam pasal yang diuji. Mahkamah memandang perlu adanya kerja sama yang komprehensif antar penegak hukum, sehingga secara simultan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dapat dihindari. Sehingga dengan demikian, Mahkamah memutuskan mengabulkan permohonan permohonan Pemohon. “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Arief Hidayat membacakan amar putusan.
Kuasa hukum Pemohon, Maqdir Ismail mengungkapkan kliennya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ijin pengelolaan limbah. Pihaknya memang masih melakukan pengelolaan limbah disaat perpanjangan izin pengelolaan limbah belum sepenuhnya diterbitkan, namun demikian pihaknya juga memiliki itikad baik untuk mematuhi aturan yang berlaku karena perpanjangan izin yang dimaksud tengah dalam proses penerbitan. (Julie)