Mahkamah konstitusi memutus menolak permohonan Supriyono, yang mengajukan pengujian Undang-Undang Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1993 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Putusan tersebut diucapkan dalam sidang pengucapan putusan perkara 57/PUU-XII/2014, Rabu (21/01), yang dipimpin oleh Ketua MK, Arief Hidayat.
Pemohon dalam permohonannya mempersoalkan PP Nomor 46 Tahun 2013 yang terbit dan berlaku berdasarkan atas adanya ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 36 Tahun 2008 berbunyi “Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”: menyatakan bahwa dasar pengenaan pajak adalah peredaran bruto, pajaknya bersifat final, dan pemahaman ini hanya diperuntukkan oleh usaha kecil dan tidak berlaku bagi usaha besar, jauh dari rasa keadilan. Dalam permohonannya pemohon menilai Pasal 4 ayat (2) menimbulkan ketidak pastian hukum yang merugikan hak konstitusional pemohon.
Terhadap permohonan tersebut, dalam pertimbangannya Mahkamah berpendapat norma Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon pernah dimohonkan pengujian dalam perkara Nomor 28/PUU-VII/2009 dengan dasar pengujian yang sama, yaitu Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Terhadap permohonan pengujian pasal tersebut, Mahkamah pada tanggal 11 Maret 2010 telah menjatuhkan putusan dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut, pertama, bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah (legal policy), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah.
Menurut Mahkamah, pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Dengan demikian maka pasal-pasal yang diuji konstitusionalnya tidak bertentangan dengan UUD, sehingga dalil Pemohon tidak beralasan hukum.
Lebih lanjut dalam pertimbangan putusan perkara 28/PUU-VII/2009, yang kembali dikutip Mahkamah dalam pertimbangan perkara yang diajukan Supriyono ini menyebutkan, bahwa isu hukum kerugian konstitusional terkait dengan pengenaan pajak sebagai akibat pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak), tidaklah beralasan hukum, karena pelimpahan pengaturan tersebut merupakan delegasi kewenangan yang sah. Selain itu, pengujian terhadap peraturan tersebut bukanlah kewenangan konstitusional Mahkamah. Memang tidak mustahil dapat terjadi pada suatu negara yang pemerintahannya otoriter, muncul Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang bertentangan dengan UUD, sehingga pasal yang bersifat demokratis dibelenggu oleh ketentuan yang lebih rendah yang otoriter.
Menurut Mahkamah, di dalam tata hukum Indonesia sudah ada mekanisme judicial review, sehingga seandainya pun terdapat Peraturan Pemerintah yang mengandung ketidakadilan sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, maka bagi Pemohon sebagai warga negara yang dirugikan terbuka peluang untuk mengajukan pengujian materiil (judicial review) kepada Mahkamah Agung terhadap PP Nomor 46 Tahun 2013.
Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon dengan dasar pengujian Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, menurut Mahkamah pasal tersebut tidak relevan untuk dijadikan dasar pengujian Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh sebab Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh mengatur mengenai pendelegasian wewenang pengaturan tentang jenis pajak penghasilan lainnya dari Undang-Undang kepada Peraturan Pemerintah, sedangkan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 mengatur mengenai hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, serta Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 mengatur fakir miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Dengan demikian permohonan Pemohon dengan dasar pengujian Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tidak
beralasan menurut hukum.
Dengan pertimbangan itu Mahkamah menilai pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan memutus menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.