Mahkamah Konstitusi menyatakan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh tersangka kasus percobaan pemerkosaan dan kekerasan Sanusi Wiradinata tidak dapat diterima.
“Mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan perkara nomor 67/PUU-XII/2014 didampingi tujuh hakim konstitusi lain, selain Aswanto di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (21/1).
Menurut MK, permohonan pemohon yang menguji Pasal 77 huruf a KUHAP tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 60 UU MK. “Oleh karena itu, Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan kedudukan hukum atau legal standing dan pokok permohonan Pemohon,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Alasan permohonan tidak memenuhi syarat formal, antara lain karena pemohon pernah mengajukan permohonan dengan substansi yang sama dan telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 102/PUU-XI/2013, bertanggal 20 Februari 2014, dengan amar putusan yang menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Namun, menurut Pemohon permohonan Pemohon a quo berbeda dengan permohonan Nomor 102/PUU-XI/2013 yang telah diputus oleh Mahkamah tanggal 20 Februari 2014, sehingga permohonan Pemohon tidak ne bis in idem.
Menurut Pemohon, terdapat perbedaan konsepsi dalam penerapan asas ne bis in idem dalam perkara pengujian UU a quo. Menurut KUHAP, asas ne bis in idem adalah seseorang tidak dapat dituntut lantaran perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputuskan oleh hakim. Asas ne bis in idem sesungguhnya merupakan asas yang digunakan oleh peradilan atas hal mengadili perbuatan konkret, sedangkan dalam proses peradilan di Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan yang mengadili norma bukan mengadili perbuatan konkret. Oleh karena itu, pemohon menilai ne bis in idem merupakan asas yang tidak dapat dipergunakan oleh MK sebagai peradilan norma.
Setelah mencermati isi permohonan, menurut Mahkamah, pemohon sama sekali tidak memberikan argumentasi perbedaan dasar pengujian UUD 1945 yang digunakan untuk menguji pasal yang dimohonkan Pemohon sebagaimana yang disyaratkan Pasal 60 UU MK, yaitu materi dalam UU yang telah diuji dapat dimohonkan kembali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. “Menurut Mahkamah, pasal dalam UUD 1945 yang digunakan sebagai dasar pengujian, baik permohonan Pemohon a quo maupun permohonan Nomor 102/PUU-XI/2013 adalah sama yakni Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,” jelas Wahiduddin.
Selain itu, mencermati lebih lanjut, pokok permohonan pemohon hanya menguraikan hal-hal yang tidak berkaitan dengan pertentangan norma pasal yang diujikan dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan mengenai tujuan negara hukum dan cirinya, serta hanya mengutip pasal-pasal UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian tanpa menguraikan tentang norma pertentangannya. Padahal, dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan MK telah memberikan nasihat sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK untuk memperbaiki permohonannya. “Meskipun telah mengajukan perbaikan permohonan akan tetapi Pemohon tidak memperbaiki permohonannya sebagaimana yang dinasihatkan oleh Mahkamah,” imbuhnya.
Sebelumnya, Pemohon menilai ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP telah membatasinya mengajukan praperadilan berkaitan dengan penetapan tersangkanya yang tidak sah. Pemohon ingin adanya penetapan tersangka tidak sah, berita acara pemeriksa tersangka tidak sah, penyidikan perkara pidana tidak sah, pengurangan hak kebebasan tersangka tidak sah, dan penuntutan tersangka tidak sah.
Adapun Pasal 77 huruf a KUHAP menyatakan:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.”
Permohonan praperadilan yang diajukan Sanusi sebagai Pemohon telah diterima sebagian oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan yang dikabulkan adalah menyatakan tidak sah penangkapan Pemohon yang dilakukan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Namun, PN Jaksel menolak permohonan pembatalan surat perintah penahanan dan BAP perkara.
Oleh karena itu, Pemohon yang merasa dikriminalisasi oleh Polda Metro Jaya meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Konstitusi. “Menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai tidak termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, Berita Acara pemeriksaan tersangka, penyidikan perkara pidana, pengurangan hak kebebasan tersangka atau penuntutan tersangka,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Yudi Anton, Rabu (3/9). (Lulu Hanifah)