Perusahaan Kontraktor Alat Berat mengajukan Pengujian Undang-Undang No. 21 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ke Mahkamah KOnstitusi (MK). Sidang perdana perkara dengan Nomor 3/PUU-XIII/2015 ini digelar pada Rabu (21/1) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara ini diajukan oleh tiga perusahaan kontraktor, yaitu PT Tunas Jaya Pratama, PT Multi Prima Universal, dan PT Marga Maju Japan.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon yang diwakili oleh Ali Nurdin selaku kuasa hokum, merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ. Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ berbunyi: “Yang dimaksud dengan “kendaraan khusus” adalah kendaraan bermotor yang dirancang khusus yang memiliki fungsi dan rancang bangun tertentu, antara lain: c. alat berat antara lain: bulldozer, traktor, mesin gilas (stoomwaltz), forklift, loader, exvacator, dan crane”. UU LLAJ menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor. “Disamakannya alat berat dengan kendaraan bermotor berdampak pada akhirnya para pemohon tidak dapat bekerja,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Menurut Pemohon, alat berat jika dilihat dari fungsinya merupakan alat produksi. Berbeda dengan kendaraan bermotor yang berfungsi sebagai moda transportasi baik barang maupun orang. Dengan kata lain, secara fungsional, alat berat tidak akan pernah berubah fungsi menjadi moda transportasi barang maupun orang. Para Pemohon memiliki dan/atau mengelola alat-alat berat berupa antara lain: crane, mesin gilas (stoomwaltz), excavator, vibrator, dump truck, wheel loader, bulldozer, tractor, forklift, dan batching plant yang digunakan melakukan aktivitas usahanya. Dengan menyamaratakan antara alat berat dengan kendaraan bermotor maka alat berat diharuskan mengikuti uji tipe dan uji berkala seperti halnya kendaraan bermotor. Pemohon berpendapat, persyaratan uji tipe dan uji berkala sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut tidak mungkin dan tidak pernah dapat dipenuhi oleh alat berat karena karakteristik alat berat tidak pernah sama dengan kendaraan bermotor. Alat berat diharuskan memiliki perlengkapan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam UU LLAJ, padahal alat berat yang dimiliki para Pemohon tidak memiliki alat pendongkrak dan pembuka roda dikarenakan alat berat tidak memiliki ban. Selain itu, alat berat juga harus diregistrasikan dan diidentifikasi seperti halnya kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam Pasal 64 UU LLAJ yang pada pokoknya kendaraan bermotor diharuskan diregistrasi guna mendapatkan sertifikat uji tipe, padahal alat berat tidak dapat dilakukan uji tipe.
“Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU LLAJ itu telah mengatur norma baru yang menempatkan alat berat sebagai genus yang berbeda menjadi bagian dari kendaraan bermotor. Yang kedua secara materil alat berat adalah berbeda sama sekali dengan kendaraan bermotor, sejak awal alat berat dibentuk sebagai alat produksi tidak pernah mungkin sama dengan kendaraan bermotor sebagai moda transportasi. Oleh karena itu hal ini mengakibatkan kerugian kepada kami dan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak ada jaminan perlindungan,” jelasnya.
Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim yang juga dihadiri oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Suhartoyo memberikan saran perbaikan. Alim meminta pemohon mengaitkan dengan pengujian undang-undang terkait alat-alat berat yang pernah diputus MK. ”Di situ ada putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan alat-alat berat yang dioperasikan di Kalimantan itu, yang kemudian dipakaikan pembayarannya disamakan. Itu nanti dilihat diperbandingkan bagaimana sikap MK di situ,” sarannya.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mempertanyakan agar Pemohon jeli melihat apakah penjelasan dapat dimasukkan sebagai objek permohonan karena tidak memuat norma. “Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ya dikatakan itu bahwa penjelasan itu tidak dapat memuat norma ya dan kemudian penjelasan tidak dapat menjadi dasar hukum untuk peraturan yang lebih lanjut. Kemudian penjelasasn merupakan tafsir resmi dari pembentuk undang-undang dan ini untuk memperjelas norma jadi bukan norma itu sendiri tapi ya mungkin saja ternyata bahwa penjelasannya ada yang mengandung norma atau norma terselubung ya,” tandasnya (Lulu Anjarsari)