Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Putusan perkara nomor 47/PUU-XII/2014 tersebut menyatakan frasa ‘jenis jasa lain’ dalam Pasal 23 ayat (2) UU PPh tidak bertentangan dengan Konstitusi.
“Mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon,” kata Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (21/1).
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang PPh selengkapnya menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Pasal 23 ayat (2) UU PPh mengandung materi yang memerintahkan supaya jenis jasa lain yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) diatur oleh Pemerintah, dalam hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Norma yang dimaksud oleh Pasal 23 ayat (1) pada huruf c angka 2 tersebut adalah dipotongnya pajak sebesar 2% oleh pihak yang wajib membayarkan mengenai imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, frasa ‘jenis jasa lain’ tidak dapat dikatakan sebagai pemberian kewenangan pengaturan kepada Menteri Keuangan terhadap objek hukum yang sangat luas, dalam hal ini mengenai perpajakan. Hal mengenai potongan pajak tetap diatur secara tegas oleh UU a quo. “Menteri Keuangan tidak dberikan kewenangan untuk menentukan mengenai perpajakan tersebut secara mandiri, melainkan hanya terbatas merinci hal-hal yang telah diatur oleh UU a quo” ujar Hakim Konstitusi Maria Farida membacakan pendapat Mahkamah.
Hal tersebut dimungkinkan karena pembentukan undang-undang memerlukan waktu yang cukup lama, padahal objek dalam undang-undang merupakan sesuatu yang berkembang. “Untuk menutup celah demikian maka dalam hal terkait dengan perkembangan tersebut maka norma yang terdapat pada frasa ‘jenis jasa lain’ tersebut diperlukan,” jelasnya.
Pengaturan yang diperintahkan oleh pasal tersebut tidak dapat dikatakan sangat luas karena norma yang terdapat pada frasa ‘jenis jasa lain’ dibatasi oleh norma yang terdapat pada frasa ‘sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2’. Dengan adanya norma tersebut, pengaturan yang diperintahkan oleh UU PPh kepada Menteri Keuangan hanya sebatas merinci hal yang telah secara tegas ditentukan oleh undang-undang ketika terjadi perkembangan dalam objek yang diatur. “Dengan demikian, norma tersebut tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan serta hal lain yang terkait dengan hak untuk bekerja yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, dan tidak pula dapat dikatakan terjadi diskriminasi yang bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,” imbuhnya.
Sebelumnya, perusahaan pelayaran PT Cotrans Asia menguji Pasal 23 ayat (2) UU PPh yang dinilai memberikan ketidakpastian hukum. Pemohon menilai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, memakai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam pasal tersebut termasuk pemotongan pajak penghasilan. Hal tersebut, imbuh Pemohon, tidak dapat dilakukan lantaran jenis jasa Pemohon masuk dalam lingkup pelayaran yang memiliki karakteristik berbeda dari jenis usaha lainnya sehingga semestinya tunduk pada UU Pelayaran.
Lebih lanjut, Pemohon menilai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam Pasal 23 ayat (2) UU PPh telah tumpang tindih dengan UU lain yang mengatur bidang usaha tertentu sehingga telah melanggar asas-asas pembentukan perundang-undangan. Apalagi, sebelum direvisi, pasal yang sama tidak pernah memberikan kewenangan kepada siapapun untuk menentukan pungutan pajak atas penghasilan jasa lain, tetapi hanya menentukan siapa pihak pemotong pajak.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa ‘jenis jasa lain’ dalam pasal tersebut inkonstitusional sepajang dimaknai dengan tanpa memperhatikan UU lain yang telah mengatur klasifikasi lapangan/bidang usaha tertentu. (Lulu Hanifah)