Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan uji materi UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua - Perkara No. 121/PUU-XII/2014 - tidak dapat diterima. “Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” demikian disampaikan Ketua Pleno Arief Hidayat yang didampingi para hakim konstitusi lainnya pada sidang pengucapan putusan MK, Rabu (21/1) sore.
Mahkamah menemukan fakta bahwa Lembaga Masyarakat Adat Provinsi Papua (LMA) adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang menjadikan Pemohon I sebagai Ketua Umum dan Pemohon II sebagai Sekretaris. Tidak ada alat bukti yang menunjukkan bahwa organisasi tersebut adalah suatu Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang memenuhi unsur-unsur bahwa terdapat masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling).
Selain itu tidak terbukti adanya pranata pemerintahan adat, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa terdapat harta kekayaan dan/atau benda-benda adat di organisasi tersebut, dan tidak ada pula perangkat norma hukum adat yang diatur dan ditetapkan dalam organisasi yang dipimpin oleh para Pemohon tersebut. Terlebih lagi, tidak ada pula alat bukti yang menunjukkan adanya wilayah tertentu yang menandai sifat teritorial organisasi yang dipimpin oleh para Pemohon tersebut.
Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta hukum sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf b UU MK untuk mengajukan permohonan a quo.
Dengan demikian, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan, maka pokok permohonan tidak dipertimbangkan.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah Lenis Kogoya (Pemohon I) selaku Ketua Lembaga Masyarakat Adat Provinsi Papua dan Paskalis Netep (Pemohon II) selaku Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Provinsi Pemohon menyampaikan kerugian konstitusionalnya tidak dapat diangkat dalam keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) untuk periode 2004-2009 dan periode 2009-2014 serta periode 2014-2019. Keanggotaan DPRP diatur melalui Perdasus. Tapi, Perdasus yang mengatur keanggotaan DPRP yang diangkat untuk periode 2004-2009 belum diatur. Akibatnya, keanggotaan DPRP melalui pengangkatan tidak dapat dilakukan.
Pemohon juga mendalilkan, rumusan Pasal 6 ayat (4) UU Otonomi Khusus Provinsi Papua harus dimaknai bahwa pengisian anggota DPRP Provinsi Papua masa jabatan 2004-200 semestinya menggunakan anggota DPRD Provinsi Papua, bukan menggunakan anggota DPRP. Dengan demikian, menurut Pemohon, segala tindakan hukum yang dilakukan anggota DPRP masa jabatan 2004-2009 dan masa jabatan 2009-2014 adalah keliru dan cacat hukum. (Nano Tresna Arfana)