Sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi UU No. 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak - Perkara No. 4/PUU-XII/2015 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (20/1) siang. Pemohon adalah PT. Gresik Migas yang diwakili kuasa hukumnya, Ahmad Wirawan Adnan.
“Pokok permohonan kami adalah pengujian terhadap empat norma dalam UU No. 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Keempat norma itu adalah Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (2) UU No. 20/1997, Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 49 UU No. 22/2001,” ujar Wirawan Adnan kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman.
”Legal standing kami sebagai Pemohon adalah badan hukum privat. Pemohon adalah badan hukum yang secara khusus bergerak pada kegiatan usaha hilir gas bumi berdasarkan ketentuan UU Migas khususnya Pasal 1 ayat (10). Kami telah memahami pendirian Mahkamah tentang legal standing dan syarat-syarat tentang adanya kerugian konstitusional yang ada pada Pemohon sebagaimana tersebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi,” urai Wirawan.
Alasan Pemohon melakukan uji materi UU a quo bahwa pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 Tahun 2006 yang pada dasarnya adalah PP yang mewajibkan kepada Pemohon mengeluarkan iuran. “Jadi ada wajib iuran kepada Pemohon yang PP ini didasarkan kepada dua undang-undang yaitu Undang-Undang PNBP dan Undang-Undang Migas sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas,” jelas Wirawan.
Pemohon berpendapat, kedua undang-undang ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 23A, 28 ayat (1), dan 28H ayat (4). Kerugian spesifik Pemohon adalah karena terhadap Pemohon telah ditarik iuran yang besarnya Rp145.000.000 per bulan atau dalam 1 tahun itu kurang lebih 1,7 miliar.
“Kami berpendapat jika permohonan kami ini dikabulkan, kerugian yang bersifat spesifik ini tidak ada lagi. Jadi, permohonan kami adalah agar keempat norma tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Wirawan.
Hakim Konstitusi Muhammad Alim menanggapi dalil Pemohon. “Saya lihat peraturan pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang Saudara serang. Mungkin barangkali harus dijelaskan bahwa kalau yang dimaksud dengan peraturan pemerintah itu berarti bukan undang-undang, kan begitu,” ujar Muhammad Alim.
“Kemudian yang dimaksud dengan peraturan perundangan belum tentu itu undang-undang. Karena bisa juga perda itu peraturan perundang-undangan juga, pokoknya asal mengikat secara umum. Mungkin itu yang mesti Anda lebih terangkan lebih dahulu supaya kita tahu oh begini maksudnya,” tambah Alim.
Sementara itu Hakim Konstitusi Anwar Usman mengatakan bahwa kuasa hukum Pemohon memang sudah sering beracara di MK, sehingga dari formatnya secara umum sudah memenuhi syarat. “Cuma mengulangi apa yang disampaikan oleh Yang Mulia Bapak Muhammad Alim, itu petitumnya itu memang ini terlalu panjang, terlalu banyak. Misalnya untuk petitum angka 2 sampai 5 itu kan bisa disatukan itu. Begitu juga petitum angka 6 sampai 9 juga bisa disatukan. Bukan bisa disatukan, memang harusnya disatukan,” tegas Anwar.
Kemudian terkait dengan materi permohonan, Anwar menyarankan agar perlu dielaborasi lebih jauh lagi, jangan sampai yang nampak adalah masalah implementasi pasal. “Kan tadi ada menyebut angka sekian ratus juta tadi berulang. Nah, sehingga bisa saja itu sebagai pintu masuk. Maksudnya supaya pintu masuk itu bukan menjadi alasan utama,” tandas Anwar. (Nano Tresna Arfana)