MK: Hukuman Mati Tak Melanggar Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik
Selasa, 20 Januari 2015
| 11:29 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi RI
Jakarta - Indonesia tegas menyatakan hukuman mati tidak melanggar HAM dan juga International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Hal ini diproklamirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan yang dimohonkan Rani Andriyani, gembong narkoba yang dieksekusi Minggu (18/5) kemarin.
Selain diajukan oleh Rani, gugatan ini juga diajukan oleh komplotan `Bali Nine` yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Penolakan grasi Andrew tinggal menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo sedangkan grasi Myuran sudah ditolak. Jika Keppres keduanya sudah keluar, maka Jaksa Agung Prasetyo langsung menyiapkan regu tembak.
"Kualifikasi kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di atas dapat disetarakan dengan `the most serious crimes` menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR," demikian pertimbangan putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 yang dikutip detikcom, Senin (19/1/2015).
Frasa `kejahatan yang paling serius/the most serious crimes` dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR di atas tidaklah boleh dibaca terpisah dengan frasa berikutnya, yaitu sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat kejahatan itu dilakukan/in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime.
Permohonan a quo adalah permohonan pengujian UU Narkotika terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, apakah kejahatan-kejahatan di atas termasuk ke dalam pengertian kejahatan paling serius, hal itu harus dikaitkan dengan `hukum yang berlaku terhadap kejahatan-kejahatan narkotika tersebut pada saat dilakukan, baik hukum nasional maupun internasional`.
"UU Narkotika adalah implementasi kewajiban hukum internasional yang lahir dari perjanjian internasional, in casu Konvensi Narkotika dan Psikotropika," terang MK.
Bahkan MK berpendapat tidak terdapat kewajiban hukum internasional apa pun yang lahir dari perjanjian nternasional yang dilanggar oleh Indonesia dengan memberlakukan pidana mati dalam UU Narkotika itu. Sebaliknya, pemberlakuan pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan dimaksud justru merupakan salah satu konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 6 Konvensi, yang intinya bagi negara pihak dapat memaksimalkan efektivitas penegakan hukum dalam kaitan dengan tindak pidana yang berkait dengan narkotika dan psikotropika dengan memperhatikan kebutuhan untuk mencegah kejahatan dimaksud.
"Hal ini juga didukung oleh ketentuan Pasal 24 Konvensi Narkotika dan Psikotropika yang menyatakan a party may adopt more strict of severe measures than those provided by this Convention if, in its opinion, such measures are desirable or necessary for the prevention or suppression of illicit traffic," putus majelis pada 30 April 2007.