Mahkamah Konstitusi menerima kunjungan Universitas Langlangbuana (Unla) Bandung. Kunjungan tersebut diterima oleh Peneliti MK Abdul Ghoffar di aula lantai dasar Gedung MK.
Kehadiran 94 mahasiswa, 9 dosen, dan Dekan Fakultas Hukum Unla tersebut dalam rangka mempelajari lebih dalam terkait hukum dan konstitusi. Mereka juga berkesempatan untuk mengunjungi Pusat Sejarah Konstitusi di lantai 5 dan 6 Gedung MK.
Dalam kesempatan tersebut, Dekan Fakultas Hukum Unla Deny Haspada mengungkapkan niatnya untuk menjalin kerja sama dengan MK dalam rangka memperdalam pemahaman tentang konstitusi. Kerja sama tersebut dapat diwujudkan antara lain dengan partisipasi Unla untuk mengikuti kegiatan Debat Konstitusi. Selain itu, almamater biru tersebut juga berniat mengundang Ketua MK Arief Hidayat untuk menjadi narasumber dalam acara program studi.
Ghoffar menyambut baik rencana tersebut. Ia bahkan menuturkan MK telah membiayai Jurnal Konstitusi di hampir 60 universitas di Indonesia. Namun dalam perjalannya, banyak perguruan tinggi yang tidak mampu mengelola jurnal tersebut. Karena itu ia berharap agar mahasiswa dan para akademisi dapat memanfaatkan fasilitas tersebut untuk mengembangkan penulisan ilmiah bidang hukum dan Konstitusi.
Menjawab pertanyaan dari salah satu mahasiswa, dia mengatakan salah satu pentingnya MK dalam negara konstitusi modern adalah ketika konstitusi sudah mengadopsi hak asasi manusia (HAM). Apabila sudah begitu, maka HAM merupakan supranorma, yakni norma yang berada di atas segala norma. Di dalam konstitusi ada banyak norma, tapi ketika norma itu berhadapan dengan HAM, yang mengalahkan adalah norma HAM.
Berkaitan dengan proses peninjauan kembali (PK) yang dapat dilakukan lebih dari sekali, Ghoffar menuturkan PK tidak menghalangi proses eksekusi. Kepastian hukum akan diperoleh ketika putusan bersifat inkracht. Apabila suatu perkara pidana sudah diputus di tingkat kasasi, maka eksekusi bisa dijalankan dan terus berjalan walaupun PK diajukan, kecuali hukuman mati. “Berangkat dari prinsip tersebut, menurut pendapat pribadi saya, MK ingin memberi pesan pada seluruh warga negara, yaitu berhati-hatilah pada hukuman mati,” jelasnya, Kamis (15/1).
Ada prinsip lebih baik melepas orang jahat daripada menembak orang tidak bersalah. Prinsip tersebut yang dipegang MK untuk menyatakan PK perkara pidana bisa diajukan berkali-kali demi tercapainya keadilan bagi seluruh warga negara demi melindungi HAM. “MK memutuskan hal tersebut merupakan bagian dari konstitusi dan tidak bisa ditawar lagi,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ghoffar menjelaskan putusan MK merupakan final interpretator atau penafsir konstitusi. Begitu pula undang-undang yang merupakan produk dari lembaga legislatif. “Undang-undang itu juga merupakan tafsir (dari konstitusi), tapi tafsir awal,” imbuhnya. (Lulu Hanifah)