Dua puluh dua orang anggota komisioner di Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Provinsi serta satu orang warga negara Indonesia selaku Para Pemohon Pengujian Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik menghadirkan Saldi Isra selaku ahli untuk menguatkan dalil mereka. Saldi mengatakan UU KIP telah mereduksi kemandirian Komisi Informasi. Komisi Informasi juga harus bersifat merdeka karena Komisi Informasi merupakan lembaga semi peradilan yang putusannya memiliki kekuatan setara dengan putusan pengadilan.
Sebelumnya, Para Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional mereka telah dilanggar oleh adanya pemberlakuan Pasal 29 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU KIP. Keempat ayat tersebut pada intinya menyatakan Sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh Pemerintah dan keanggotaannya ditetapkan oleh menteri bidang komunikasi dan informatika. Adanya campur tangan pemerintah juga diberlakukan pada Komisi Informasi di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Ketentuan tersebut telah menyebabkan para komisioner Komisi Informasi tidak dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dengan optimal dalam menyelesaikan sengketa informasi. Terutama, sengketa informasi yang melibatkan pemerintah maupun Kementerian Kominfo. Aturan tersebut juga menyebabkan ketergantungan atau ketidakberdayaan dari segi penganggaran atau penandaan dan model bangunan Kesekretariatan Komisi Informasi pada lembaga lain. Ujung-ujungnya, Pemohon menuding aturan tersebut berimplikasi terhadap sulitnya pelaksanaan manajerial dan pengawasan pegawai di Komisi Informasi.
Menyampaikan keahliannya melalui fasilitas video conference, Pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra menyampaikan, informasi merupakan kebutuhan pokok setiap warga negara dan merupakan bagian penting dari upaya ketahanan nasional. Dengan urgensi seperti itulah Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan lewat Pasal 28F yang secara tegas menjamin hak atas informasi bagi setiap orang atau setiap manusia yang hidup di bumi Indonesia. Langkah legislasi konkrit sudah dilakukan oleh negara dengan membentuk UU KIP. Namun Saldi menilai langkah legislasi tersebut belum masimal. Salah satu buktinya, sejumlah norma dalam UU KIP justru dituding memlemahkam upaya pemenuhan hak atas informasi. Tudingan tersebut salah satunya dilayangkan oleh Para Pemohon.
Reduksi Sifat Mandiri
Bila dilihat dari sisi politik hukum pembentukan komisi informasi, Saldi menyatakan KIP didesain sebagai lembaga yang mandiri. Hal tersebut dinyatakan oleh pembentuk undang-undang melalui Pasal 23 UU KIP yang menyatakan Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan undang-undang ini. Bahkan, kata “mandiri”dalam ketentuan tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 23 UU a quo yang menjelaskan bahwa mandiri adalah independen dalam menjalankan wewenang serta tugas dan fungsinya.
“Sebagai suatu lembaga mandiri, sifat kemandirian Komisi Informasi sebanding dengan kemandirian lembaga-lembaga negara lainnya. Baik yang dibentuk atas perintah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maupun atas perintah undang-undang, seperti kemandirian KPU dalam Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kemandirian KY dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, ataupun kemandirian KPK dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Dalam arti segala hal ikhwal yang melekat pada kemandirian lembaga negara yang secara eksplisit dinyatakan sebagai lembaga mandiri dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 maupun dalam undang-undang juga berlaku sama bagi Komisi Informasi,” jelas Saldi.
Sebagai lembaga mandiri, KIP harus memenuhi lima karakteristik. Pertama, daftar hukum pembentukan yang menyatakan secara tegas sifat kemandirian atau independensi komisi atau lembaga tersebut. Dua, lembaga atau komisi dimaksud bebas dari pengaruh atau kontrol cabang kekuasaan eksekutif. Tiga, proses pengisian pimpinan lembaga atau komisi melibatkan eksekutif dan legislatif atau paling tidak ada dua lembaga yang terlibat pada proses perekrutannya. Keempat, kepemimpinan komisi bersifat kolektif kolegial. Dan kelima, kepemimpinan komisi tidak dikuasai atau mayoritas berasal dari partai politik tertentu.
Melihat karakteris tersebut, Saldi mengatakan hanya satu ciri terkait pengaruh lembaga lain (ciri kedua, red) terutama pemerintah dan lembaga politik kepemimpinan, pertanggungjawaban, serta penatakelolaan lembaga Komisi Informasi yang justru jauh dari sifat kemandirian. Sebab KIP sangat bergantung pada peran pemerintah, baik dalam mendukung administrasi, keuangan, penatakelolaan, maupun pertanggungjawaban.
Lebih lagi, peran pemerintah dalam melaksanakan sekretariat, termasuk administrasi keuangan, serta pertanggungjawaban Komisi Informasi kepada pemerintah dan pemerintah daerah justru menempatkan lembaga ini di bawah pengaruh pemerintah. Saldi pun mengatakan desain kelembagaan Komisi Informasi sesungguhnya bila demikian bukanlah sebagai lembaga mandiri, melainkan sekadar untuk memenuhi tuntutan masyarakat mengenai adanya keterbukaan informasi.
Lebih lanjut, Saldi mengatakan UU KIP yang mereduksi sifat kemandirian Komisi Informasi sebagai pelindung hak atas informasi secara tidak langsung juga telah mengurangi tanggung jawab Negara. Terutama, dalam memenuhi hak atas informasi. Bahkan lebih dari itu, penempatan komisi informasi sebagai lembaga yang tidak mandiri justru merupakan perwujudan intervensi negara atas keterpenuhan hak atas informasi publik.
Terlebih, Komisi Informasi merupakan lembaga semi peradilan yang putusannya memiliki kekuatan setara dengan putusan pengadilan. Hal tersebut tercatat dalam Pasal 23 UU KIP yang menyatakan Komisi Informasi bertugas menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi. Bila dikaitkan dengan sifat kemandirian, Komisi Informasi mesti betul-betul lepas dari segala macam bentuk intervensi pihak-pihak yang bersengketa, baik pihak Pemohon maupun pihak Termohon. Oleh karena itu, sifat mandiri Komisi Informasi harus dimaknai setara dengan sifat merdeka yang dimiliki oleh lembaga kekuasaan kehakiman.
Sementara itu Zainal Arifin Mochtar yang juga didaulat menjadi ahli oleh Para Pemohon juga mengatakan bahwa Komisi Informasi merupakan lembaga negara mandiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 28 UU KIP. Bila dilihat dari ranah kekuasaannya, Komisi Informasi selaku lembaga negara independen adalah cabang kekuasaan di luar eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Arifin mengatakan lembaga seperti Komisi Informasi kerap menjadiunderbow dari lembaga eksekutif sehingga kehilangan sifat kemandiriannya.
Seharusnya, lanjut Arifin, lembaga independen semacam Komisi Informasi harus bebas dari kekuasaan pemerintah. Terlebih, Komisi Informasi hadir dari hasil “penyapihan” kekuasaan pemerintah. “Jadi dulu itu merupakan kekuasaan pemerintah, tetapi karena zaman mengatakan bahwa pemerintah ternyata tidak becus mengerjakannya atau pemerintah kemudian tidak cukup baik menjalankannya, sehingga kemudian dia disapih, dibuatkan lembaga negara independen tersendiri,” jelas Arifin.
Seleksi Komisioner
Terkait mekanisme pengisian jabatan komisioner, Arifin melihat ada mekanisme yang berbahaya dan mengancam independensi Komisi Informasi. Sebab, selama ini pola pengisian jabatan komisioner kerap melibatkan presiden dan DPR lewat berbagai pola berbeda. Dari penelitian yang dilakukan Arifin selama tiga tahun, Arifin menyimpulkan bahwa memang tidak ada lembaga negara independen di negara mana pun yang menggunakan metode seleksi selain melibatkan kewenangan politik.
Meski Arifin tidak menolak metode seleksi Komisi Informasi saat ini yang melalui proses politis, namun Arifin memangtakan metode tersebut harus diperbaiki. Tidak mesti menghilangkan peran serta DPR sama sekali, Arifin menyarankan agar DPD dilibatkan untuk menciptakan checked and balances. (Yusti Nurul Agustin)