Beralasan terbentur dengan hari libur nasional dan agenda lain, Pemohon Pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) minta perpanjang waktu perbaikan permohonan. Hal itu disampaikan oleh Pemohon Perkara No. 137/PUU-XII/2014 dalam sidang kedua yang beragendakan mendengar poin-poin perbaikan permohonan pada Kamis (8/1) di Ruang Sidang Pleno MK. Meski demikian, panel hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Aswanto tidak bisa mengabulkan permintaan tersebut.
Hanung Hudiono mewakili rekan-rekannya menyampaikan bahwa permohonan perkara No. 137/PUU-XII/2014 sudah diperbaiki. Perbaikan dilakukan pada redaksional kalimat dalam UU MK, penambahan alat bukti, dan perubahan petitum. Namun, Hanung mengakui bahwa perbaikan tersebut tidak sampai pada hal-hal yang spesifik seperti argumentasi kerugian konstitusional Pemohon. Oleh karena itu, Hanung meminta agar Mahkamah memberikan waktu tambahan untuk Pemohon untuk memperbaiki permohonan lainnya.
“Yang Mulia, karena keterbatasan waktu libur hari raya dan tahun baru, maka bahwa Para Pemohon belum seluruhnya membaca dan mempelajari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 sampai dengan 3/PUU-V/2007 dan Nomor 37/PUUVIII/2010 sebagaimana disarankan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi pada sidang sebelumnya. Dan kami juga belum membahas mengenai kerugian konstitusional yang spesifik, aktual, dan faktual karena memang dalam waktu yang diberikan pada Pemohon I belum maksimal untuk membahas itu karena terkendala dengan kegiatan yang telah dijadwalkan sebelumnya. Maka perbaikan Pemohon ini baru secara tekstual yang diperbaiki sebagaimana saran Hakim dalam sidang sebelumnya. Oleh karena itu, kami mohon Majelis Hakim Yang Mulia dapat memberikan tambahan waktu perbaikan terhadap permohonan kami,” papar Hanung mengaku.
Memang, pada sidang sebelumnya disampaikan bahwa Pemohon perkara ini berjumlah dua pihak. Pemohon I merupakan sekumpulan advokat yaitu Didit Wijayanto Wijaya, Antonius Sujata, Ahmad Murad, Erdiana, Ristan BP Simbolon, Hanung Hudiono, dan Iqbal Alif Maulana. Sedangkan Pemohon II yaitu Agbasi Chika seorang warga negara Nigeria yang dijerat kasus Narkoba dan sudah dipidana oleh Indonesia.
Pemohon I merasa haknya untuk membela Agbasi terhalangi ketika berperkara di MK untuk memperjuangkan kebebasannya dari jeratan pidana kasus narkoba. Pemohon I beralasan perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang, termasuk bagi Abgasi. Dengan tidak diberikannya kesempatan Pemohon I membela Abgasi, maka Pasal 51 ayat (1) UU MK dianggap oleh Para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin setiap orang memeroleh perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Sayangnya, setelah diberi waktu untuk melakukan perbaikan permohonan selama 14 hari kerja, Para Pemohon tidak memaksimalkannya. Poin penting mengenai legal standing Pemohon I sebagai Pemohon yang berprofesi sebagai advokat atau sebagai kuasa hukum bagi Abgasi saja tidak terjawab dalam perbaikan permohonan ini.
Menanggapi hal itu, Aswanto mengatakan Mahkamah tidak bisa memberi waktu tambahan. Sebab, MK memiliki hukum acara yang harus diikuti, termasuk soal ketentuan waktu perbaikan permohon hanya diberikan selama 14 hari kerja saja. “Kita punya hukum acara, hukum acaranya seperti itu untuk kesempatan perbaikan 14 hari kerja. Kalau dalam tenggang waktu 14 hari kerja tidak dilakukan perbaikan, maka yang kita jadikan sebagai dasar untuk pemeriksaan lebih lanjut adalah permohonan yang pertama. Jadi tidak ada di hukum acara MK soal tambahan waktu untuk melakukan perbaikan,” jawab Aswanto menanggapi permintaan Para Pemohon.
Dengan kata lain, panel hakim yang dianggotai Wahiduddin Adams dan I Dewa Gede Palguna hanya melaporkan permohonan Pemohon yang diperbaiki seadanya tersebut. Mahkamah juga akan memeriksa kelanjutan perkara ini dengan menjadikan permohonan awal dan sedikit perbaikan tersebut sebagai dasar pemeriksaan. (Yusti Nurul Agustin)