Aturan mengenai bukti permulaan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) melanggar hak asasi manusia seperti tercantum dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) Hak Kovenan PBB, Hak Sipil, dan Politik. Hal ini disampaikan oleh Natalius Pigai selaku ahli yang disampaikan oleh Bupati Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang pada sidang pengujian KUHAP terhadap UUD 1945 yang berlangsung pada Rabu (7/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Proses peradilan pidana dalam konteks hak asasi manusia, secara tegas diatur hak tersangka melalui ketentuan Pasal 9 ayat (1) Hak Kovenan PBB, Hak Sipil, dan Politik menyatakan, setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi, tidak seorangpun yang dapat ditangkap, ditahan secara sewenang-wenang, tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Natalis menjelaskan dalam Konvenan PBB telah dirumuskan ketentuan penyidik dan JPU berkewajiban mengumpulkan alat bukti sesuai dengan cara yang tidak melawan hukum dan hanya alat bukti yang diperoleh secara sah menurut hukum yang dapat digunakan untuk membuktikan kesalahannya. Hal itu juga menjadi bagian dari upaya perlindungan hak asasi manusia, khususnya bagi tersangka atau terdakwa dalam proses pengumpulan alat bukti untuk tidak dipaksa, disiksa, direkayasa, dan lain agar mengakui kesalahannya sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) Konvenan PBB tentang Sipil dan Politik. Kemudian, lanjutnya, pemberitahuan atas tuduhan yang disangkakan atau mengenai alasan penahanan dengan bukti-bukti tersebut menjadi bagian dari upaya pemenuhan hak untuk mendapatkan informasi yang dijamin dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi, Pasal 942 sebagaimana disebutkan di atas.
“Oleh karena itu, maka juga berdasarkan hukum hak asasi manusia dan rujukan-rujukan lainnya, maka kami, saya mendukung agar dilakukan Mahkamah Konstitusi menegaskan atau menerbitkan norma dengan menghapus Ketentuan Pasal 1 ayat (14), Pasal 17, dan Pasal 21 KUHAP, khususnya mengenai frasa bukti permulaan yang cukup karena tidak memberikan kepastian dan berpotensi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di dalam penerapannya,” ujarnya.
Dalam permohonannya, Bonaran memohonkan pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar karena aturan-aturan tersebut multitafsir dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak ada batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup”. Menurut Pemohon, tindakan penyidik menentukan status seseorang menjadi tersangka tanpa didasarkan bukti merupakan tindakan sewenang-wenang yang melanggar hak konstitusional warga negara. Lebih lanjut, Pemohon menilai bahwa dalam faktanya pelanggaran tersebut telah terjadi pada Pemohon ketika KPK menetapkan Pemohon sebagai tersangka dan melakukan penahanan terhadapnya tanpa dapat menunjukkan bukti permulaan maupun bukti yang cukup. Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan ketentuan-ketentuan yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak ditafsirkan “bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup dalam menetapkan tersangka dan melakukan penahanan”. Pemohon pun meminta MK untuk menyatakan bahwa aturan-aturan tersebut konstitusional bersyarat dan memberikan tafsir bahwa bukti permulaan dan bukti yang cukup itu harus jelas tolak ukurannya dan harus diberikan dan/atau ditunjukkan kepada tersangka atau terdakwa. (Lulu Anjarsari)