Tahun 2014 merupakan tahun yang penuh tantangan dan kerja berat bagi Mahkamah Konstitusi. Di samping adanya beban untuk mengembalikan citra Mahkamah Konstitusi yang terpuruk pada akhir tahun 2013, juga karena 2014 adalah tahun politik. Penyelenggaraan agenda politik lima tahunan di 2014 menuntut MK harus menyelesaikan seluruh perselisihan hasil pemilihan umum dengan sebaik-baiknya.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva saat memaparkan refleksi 2014 dengan tema “Menegakkan Konstitusionalisme dalam Dinamika Politik, Refleksi Kinerja Mahkamah Konstitusi 2014”. Di depan sejumlah media massa, Hamdan menegaskan MK telah mampu melampaui situasi yang demikian berat tersebut dengan baik, bahkan MK dinilai oleh publik telah berhasil mengawal tahun politik. Itu terlihat dari kapasitas Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas konstitusionalnya memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum yang dapat diterima oleh publik dan seluruh rakyat Indonesia.
“Tingkat komplain (terhadap putusan MK) sangat sedikit dibandingkan pemilu sebelumnya. Pada saat yang sama citra dan wibawa Mahkamah Konstitusi terangkat naik dan pulih kembali. Dua agenda penting MK pada 2014 berhasil terpenuhi,” ujarnya didampingi Wakil Ketua MK Arief Hidayat dan Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar di aula Gedung MK, Jakarta, Senin (5/1).
Statistik Perkara MK
Sebagai lembaga peradilan konstitusi, pada tahun 2014 MK telah memutus sebanyak 131 perkara pengujian undang-undang dari 140 perkara yang diregistrasi tahun 2014. Dengan kata lain, jumlah perkara yang diputus mencapai 94% atau hanya tersisa 9 dari 140 perkara. Secara kuantitatif, jumlah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan jumlah putusan pengujian undang-undang pada 2013, yaitu sebanyak 110 perkara. Namun, terdapat beban perkara yang belum diputus sampai akhir Desember 2013 sebanyak 71 perkara, mengakibatkan sisa perkara yang belum diselesaikan sampai dengan 31 Desember 2014, baik karena masih dalam proses persidangan maupun dalam proses pengambilan putusan, adalah sebanyak 80 perkara.
Adapun jika dirinci berdasarkan amar putusan, sebanyak 29 perkara dikabulkan. Jumlah tersebut ekuivalen dengan 22% dari 131 perkara PUU yang telah diputus oleh MK. Sedangkan sebanyak 41 perkara ditolak, 37 perkara tidak diterima, 6 perkara gugur, ditarik kembali sebanyak 17 perkara, dan MK menyatakan tidak berwenang terhadap 1 perkara.
Secara kualitatif, pada 2014 MK juga telah memutuskan perkara-perkara yang sangat penting dan startegis bagi tegaknya konstitusionalisme dalam penyelenggaraan negara, antara lain putusan mengenai pemilu serentak pada tahun 2019, inkonstitusionalitas UU Koperasi, mekanisme pemilihan calon hakim agung, dan kewenangan penyelesain perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Selain itu, putusan tentang inkonstitusionalitas Perppu mengenai Mahkamah Konstitusi, inkonstitusionalitas sistem pembahasan anggaran di DPR materi bahasan satuan tiga, inkonstitusionalitas batasan waktu peninjauan kembali dalam perkara pidana; prioritas keterpilihan perempuan dalam pemilihan umum, dan inkonstitusionalitas beberapa pasal penting dalam UU Keormasan.
“Di antara putusan-putusan tersebut, putusan MK mengenai pemilu serentak tahun 2019 menjadi salah satu yang memiliki pengaruh besar bagi kehidupan bernegara Indonesia. Putusan tersebut akan mengubah wajah politik dan proses demokrasi Indonesia pada tahun-tahun mendatang,” imbuh Hamdan.
Selama tahun 2014, hanya ada satu perkara sengketa kewenangan antara lembaga negara yaitu antara sengketa kewenangan Bawaslu (Pemohon) dengan Pemerintahan Daerah Aceh Darussalam. Perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diterima karena baik para pihak maupun objek perkara yang dipersoalkan tidak memenuhi syarat.
Perselisihan hasil pemilihan umum legislatif tahun 2014 tercatat sebagai jumlah perkara terbanyak sepanjang sejarah berdirinya MK dengan 903 perkara. Jumlah ini dihubungkan dengan daerah pemilihan yang dipersoalkan oleh masing-masing partai politik dan calon DPD peserta pemilihan umum. Menurut penilaian MK, banyaknya perkara tersebut disebabkan oleh rumitnya sistem pemilihan umum anggota lembaga perwakilan yang diterapkan. Alasan lainnya adalah kurangnya kepercayaan terhadap penyelenggara pemilu serta sikap coba-coba dan mencari peruntungan dari peserta pemilihan umum. “Rumitnya sistem pemilu antara lain karena sulitnya mentransfer hasil pemilu di TPS ke kertas-kertas lampiran, yakni formulir C-1 dan sebagainya. Akhirnya petugas mempersilakan saksi calon untuk mengisi sendiri, itu yang sering dipersoalkan,” jelasnya.
Untuk mengurangi beban dalam pemeriksaan pembuktian perkara PHPU yang demikian banyaknya, MK menerapkan dismissal process dalam perkara PHPU 2014, yaitu memutuskan untuk tidak melanjutkan permohonan yang jelas-jelas tidak memenuhi syarat. Tercatat lebih dari 300 perkara dinyatakan tidak memenuhi syarat. Kemudian untuk menjamin akurasi dalam pemeriksaan dan putusan perkara, MK menerapkan mekanisme sidang dengan menekankan pada objek perselisihan pada daerah pemilihan yang diperiksa oleh setiap panel.
Kiprah Kelembagaan
Di balik pelaksanaan tugas konstitusional, MK menaruh perhatian yang cukup besar pada agenda penjagaan integritas Hakim Konstitusi yang merupakan pilar penting dalam peningkatan kapasitas kelembagaan MK. Untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku, kode etik hakim konstitusi, dan dalam rangka mengembalikan kepercayaan publik pada MK, Mahkamah membentuk Dewan Etik pada 29 Oktober 2013. Dewan Etik ini bersifat tetap dan independen yang anggotanya diisi tiga orang dari luar MK yang masa jabatan selama tiga tahun dan tidak dapat dipilih kembali.
Sedangkan di tingkat internasional, pada April 2014 MKRI terpilih sebagai Presiden Asosiasi Mahkamah Konstitusi dan Institusi Sejenis se-Asia (AACC) dalam Kongres ke-2 di Istanbul, Turki. MKRI juga terus memperluas hubungan bilateral dan kerja sama dengan MK di negara lain. Bentuk kerja sama tersebut diimplementasikan melalui penandatanganan kerja sama antara MKRI dan MK Thailand serta penandatanganan kerja sama MKRI dengan MK Rusia. Kerja sama ini diwujudkan dengan short course bagi pegawai ke negara-negara tersebut secara resiprokal. (Lulu Hanifah)