Beberapa pertanyaan terlontar dari para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung saat berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (5/1) siang. Salah satunya, pertanyaan mengenai kasus pencurian coklat oleh seorang nenek yang hukumnya terbilang berat ketimbang kasus korupsi.
“Sebelum membahas masalah kasus pencurian coklat, saya akan menjelaskan dahulu perbedaan common law dan civil law. Common law adalah hukum yang hidup dari kebiasaan-kebiasaan,” ujar Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK), Abdul Ghoffar kepada para mahasiswa.
“Dahulu semua hukum berada di satu tangan raja, seperti terjadi ketika nabi Sulaiman yang menjadi raja memutuskan perebutan bayi dari dua orang wanita. Dalam perjalanannya, semakin banyak kasus, sang raja tidak mampu memberikan putusan dari banyaknya kasus. Kemudian raja menunjuk orang-orang saleh menjadi hakim,” tambah Ghoffar.
Zaman berganti, semakin banyaklah hakim. Alhasil dengan kasus yang sama, putusannya berbeda karena hakimnya berbeda. Hukum kemudian beralih, dari yang tidak tertulis menjadi tertulis. Lantas muncul yang disebut dengan istilah civil law bahwa hukum mengacu pada hukum yang tertulis.
“Selama belum ada hukum yang tertulis, maka seseorang tidak bisa dipidana,” kata Ghoffar yang didamping moderator, U’u Nurul Huda SH.MH. selaku dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, Bandung.
Terkait dengan kasus pencurian coklat oleh nenek tersebut, ungkap Ghoffar, sanksi pidananya sudah ada dalam KUHP. Lantas apa yang salah? “Inilah dalam perjalanan berikutnya, ternyata civil law itu harus dikoreksi lagi. Bahwa penemuan hakim harus dikedepankan, hati nurani hakim harus dikedepankan,” tegas Ghoffar.
Ketika kasus common law banyak sekali hakim yang suka-suka hukumannya berbeda, orang menginginkan civil law. Kemudian setelah civil law, ternyata orang menginginkan kembali ke common law. Lalu muncul teori bahwa yang baik adalah restorative justice yaitu mengembalikan keadilan kepada keadaan awal.
“Dalam kasus pencurian coklat itu, hakim harus pada satu perspektif restoratif untuk memperbaiki hal tersebut. Apakah ketika pelakunya dihukum, akan menyelesaikan persoalan? Atau kemudian dipanggil para pihak untuk duduk bareng-bareng, ‘Apa kerugian Anda? Sudahlah tidak usah dipidana. Bisakah diganti dengan uang?’ ,” urai Ghoffar.
Selain menjawab sejumlah pertanyaan dari mahasiswa, pada pertemuan itu Ghoffar juga menerangkan empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi. Kewenangan pertama MK adalah melakukan uji materi UU terhadap UUD 1945. Kewenangan lain MK adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Berikutnya, MK memiliki kewenangan memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MK adalah wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, maupun tindak pidana lainnya. (Nano Tresna Arfana)