Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (UU KY) yang dimohonkan oleh Rektor dan Dosen Universitas Islam Indonesia Prof. Edy Suandi Hamid dan Sri Hastuti Puspitasari.
“Mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Hamdan Zoelva mengucapkan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (23/12).
Putusan tersebut mengganti frasa “sebanyak 21 (dua puluh satu) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c UU KY menjadi “sebanyak 7 (tujuh) calon” atau selengkapnya menjadi, “Panitia seleksi mempunyai tugas: ... c. menentukan dan menyampaikan calon anggota Komisi Yudisial sebanyak 7 (tujuh) calon dengan memperhatikan komposisi anggota Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari”.
Selain itu, frasa “wajib memilih dan” dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “berwenang menyetujui atau tidak menyetujui”. Sehingga, selengkapnya menjadi, “DPR berwenang menyetujui atau tidak menyetujui untuk menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden”.
Selain itu, MK juga menghapus frasa ”sebanyak 3 (tiga) kali dari” dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY dan menggatinya dengan “sebanyak sama dengan”. Sehingga, bunyi pasal tersebut selengkapnya menjadi, “Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Komisi Yudisial, Presiden mengajukan calon anggota pengganti sebanyak sama dengan jumlah keanggotaan yang kosong kepada DPR”.
Ketentuan yang dimohonkan Pemohon, yakni frasa “sebanyak 21 (dua puluh satu) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c, kata “memilih” dalam Pasal 28 ayat (6), dan frasa ”sebanyak 3 (tiga) kali dari” dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY, secara umum mengatur tentang rekrutmen untuk pengisian anggota KY. Frasa “sebanyak 21 (dua puluh satu) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c dan frasa ”sebanyak 3 (tiga) kali dari” dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY diartikan bahwa panitia seleksi (Pansel) dalam menyelenggarakan seleksi calon anggota KY yang berjumlah 7 orang harus menghasilkan 21 calon dan demikian pula untuk mengisi kekosongan 1 anggota, Pansel harus menghasilkan 3 calon, selanjutnya hasil tersebut oleh Presiden diajukan kepada DPR. Kaitannya dengan ketentuan pada kata “memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) UU KY, DPR wajib memilih dan menetapkan 7 dari 21 calon atau 1 dari 3 calon yang diajukan oleh Presiden.
Menurut MK, mekanisme rekrutmen untuk pengisian keanggotaan KY memiliki kesamaan dengan mekanisme rekrutmen Hakim Agung yang telah dipertimbangkan oleh MK dalam Putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang pengujian UU 3/2009 tentang Mahkamah Agung dan UU KY. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan pemilihan dalam proses rekrutmen calon hakim agung di DPR bertentangan dengan UUD 1945 karena DPR hanya menyetujui, bukan memilih. “Berdasarkan pertimbangan tersebut, oleh karena dalam permohonan pengujian konstitusionalitas a quo adalah sama dengan substansi pertimbangan dalam putusan di atas, maka substansi pertimbangan hukum tersebut mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan dalam putusan permohonan a quo,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Sedangkan MK menilai kata “wajib” pada Pasal 28 ayat (6) akan membuat DPR hanya menjadi ‘tukang stempel’ saja. Hal tersebut secara konstitusional tidak boleh terjadi,” imbuhnya.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, aturan tersebut harus tetap menyediakan ruang kebebasan DPR dalam menjalankan kewenangannya untuk mengambil keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diajukan oleh Presiden. Adapun frasa “dan menetapkan” harus dimaknai “untuk menetapkan”. Dengan demikian, dengan pemaknaan dimaksud pasal tersebut menjadi “DPR berwenang menyetujui atau tidak menyetujui untuk menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden”.
Uji UU KPK Ditolak
Sedangkan terhadap permohonan uji materi UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), MK menyatakan menolak permohonan tersebut.
Dalam permohonannya, Pemohon menguji kata “dipilih” dalam Pasal 30 ayat (1) dan frasa “memilih dan menetapkan” dalam Pasal 30 ayat (10) dan ayat (11) UU KPK. Norma-norma tersebut mengatur tentang rekrutmen untuk pengisian jabatan anggota merangkap pimpinan KPK yang dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden. Dalam rangka pengusulan tersebut Presiden membentuk Pansel yang bertugas melakukan seleksi calon tersebut dan menentukan nama calon yang akan disampaikan kepada Presiden dalam waktu tertentu. Presiden menyampaikan nama calon sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang dibutuhkan kepada DPR.
Secara lengkap, bunyi pasal-pasal UU KPK yang diujikan yaitu:
Pasal 30 ayat (1): “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Pasal 30 ayat (10): “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan 5 (lima) calon yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden Republik Indonesia”.
Pasal 30 ayat (11): “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan di antara calon sebagaimana dimaksud pada ayat (10), seorang Ketua sedangkan 4 (empat) calon anggota lainnya dengan sendirinya menjadi Wakil Ketua”.
Terhadap permohonan, MK menilai pemberian kewenangan kepada Presiden mengusulkan calon pimpinan merangkap anggota KPK dan pemberian kewenangan kepada DPR memilih calon yang diajukan Presiden tersebut berada di dalam ranah kebijakan pembentuk Undang-Undang (opened legal policy). “Hal tersebut merupakan implementasi dari prinsip checks and balances system antara Presiden dan DPR. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum,” ujar Wahiduddin. (Lulu Hanifah)