Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan, Amal Taher mewakili Pemerintah menyampaikan tanggapan terhadap permohonan Pengujian Undang-Undang Pendidikan Kedokteran yang dimohonkan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), Senin (22/12) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah menampik dalil Pemohon mengenai ketidakjelasan definisi dokter layanan primer dan adanya dualisme lembaga uji kompetensi dokter.
Mengawali paparannya, Taher menyampaikan dalam rangka mencapai tujuan nasional dilakukanlah upaya pembangunan yang berkesambungan. Salah satu upaya pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan kesehatan yang menyeluruh, terarah, dan terpadu. Salah satu permasalahan dalam pembangunan kesehatan yaitu masalah pendidikan kedokteran yang mengabaikan tujuan pokok pendidikan kedokteran dan prinsip-prinsip sosial pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Terkait dengan dalil Pemohon yang menganggap frasa “dokter layanan primer” dalam UU Pendidikan Kedokteran menyebabkan ketidakpastian hukum dan merusak sistem hukum praktik kedokteran, Pemerintah mengatakan dokter layanan primer merupakan perwujudan dari pemenuhan kebutuhan masyarakat akan seorang dokter dalam tingkat pelayanan primer. Hal tersebut sesuai dengan fungsi layanan primer yang setara dengan dokter spesialis dan dokter subspesialis lulusan pendidikan dokter dalam Pasal 1 angka 9 UU Pendidikan Kedokteran. Pelayanan primer, lanjut Taher, adalah salah satu bentuk sistem dari sistem pelayanan kesehatan dari program jaminan kesehatan nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional.
Layanan strata primer sendiri berfungsi sebagai pintu masuk masyarakat ke sistem pelayanan dan menjadi mitra masyarakat dalam menerapkan perilaku hidup sehat, memelihara kesehatan, dan mengatasi sebagian besar masalah kesehatan sehari-hari. Sistem pelayanan kesehatan tersebut dibentuk karena adanya kebutuhan dan permintaan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang membutuhkan dokter pelayanan primer. Dokter tersebut akan memenuhi sebagian besar kebutuhan dan permintaan penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia akan pelayanan kesehatan dasar selama siklus kehidupannya.
Dilihat dari pendidikan yang harus ditempuh, dokter layanan primer mendapatkan pendidikan setara dengan spesialis yang mengintegrasikan kedokteran keluarga, kedokteran komunitas, dan kesehatan masyarakat. Diharapkan, dokter layanan primer mampu memimpin dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama atau primer yang berkualitas.
Terkait dengan keberadaan dokter umum, Pemerintah mengatakan dokter umum tetap diakui sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan masyarakat yang selama ini sudah ada. Sesuai dengan program pendidikan yang diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran, maka dokter umum akan memiliki beberapa pilihan karier yaitu sebagai dokter umum, dokter layanan primer, atau menjadi dokter spesialis.
Untuk membedakan dokter umum dan dokter layanan primer, Taher menyampaikan dapat dilakukan melalui identifikasi terhadap tingkat pendidikan masing-masing. Lulusan fakultas kedokteran atau program studi dokter (fresh graduate) dapat dianggap sebagai dokter layanan primer dasar atau basic primary care doctor.
Uji Kompetensi
Pemerintah, lanjut Taher, juga menyanggah dalil Pemohon mengenai adanya dualisme lembaga penguji kompetensi dokter. Taher menjelaskan uji kompetensi dokter adalah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa yang hendak menyelesaikan profesi dokter atau dokter gigi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai dokter atau dokter gigi. Uji kompetensi dokter atau dokter gigi dimaksud dilaksanakan oleh fakultas kedokteran bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran, atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi.
UU Praktik Kedokteran sendiri tidak mengatur norma terkait penyelenggaraan uji kompetensi. UU a quo hanya menjelaskan mengenai definisi sertifikat kompetensi yaitu surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kopetensi.
“Terhadap anggapan Pemohon yang menganggap ketentuan a quo menimbulkan tidak adanya kepastian hukum atas profesi dokter karena adanya dualisme lembaga yang menangani uji kopetensi mahasiswa program profesi dokter, serta lembaga yang mengeluarkan sertifikat kopetensi dokter Pemerintah menganggap tidak tepat. Karena penyelenggara uji kopetensi yang diatur dalam ketentuan Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pendidikan Kedokteran dengan Undang-Undang Praktik Kedokteran mempunyai peran masing-masing secara berbeda. Sehingga ketentuan dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran dan Undang-Undang Praktik Kedokteran sudah sejalan, selaras, tidak tumpang-tindih dan justru kedua undang-undang tersebut saling melengkapi,” tegas Taher. (Yusti Nurul Agustin)