Terpidana kasus korupsi pengadaan tanah Pasar Induk Agrobisnis (PIA) Jemundo, Sudarto, mengajukan pengujian Pasal 1 angka 10 huruf a dan Pasal 270 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, karena merasa penerapan kedua norma tersebut telah melanggar hak-hak konstitusionalnya.
Dalam sidang perkara nomor perkara 136/PUU-XII/2014 yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, Kamis (18/12), pemohon melalui para kuasa hukumnya mengatakan ada penafsiran yang berbeda terhadap ketentuan pasal 270 KUHAP yang berbunyi “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.” Ketentuan ini ditafsirkan oleh jaksa yang mana tetap memaksakan untuk melakukan penahanan meskipun pemohon sebagai terpidana tidak menerima salinan putusan pengadilan.
Pemohon beranggapan, dengan tidak adanya salinan surat putusan maka seharusnya eksekusi terhadap pemohon tidak dapat dilaksanakan. Selain itu, Pasal 1 angka 10 huruf a KUHAP yang berbunyi “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undangini, tentang: Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka”, pemohon menilai ketentuan tersebut terlalu sempit dalam memberikan batasan pengertian dan wewenang praperadilan. Dalam argumennya pemohon mengungkapkan tidak dapatnya Pemohon mengajukan upaya hukum praperadilan guna melindungi hak-hak konstitusional pemohon yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pemohon juga mengungkapkan, karena ketentuan yang multitafsir tersebut, atasan pemohon yang terlebih dahulu dijatuhi hukuman pidana dalam kasus yang sama justru tetap bebas dan tidak dieksekusi, bahkan saat ini menduduki jabatan penting di Jawa Timur. Berdasar argumen-argumen tersebut, pemohon meminta kepada Mahkamah agar kedua ketentuan itu dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Terhadap permohonan itu, anggota majelis hakim Konstitusi, Muhammad Alim, memberikan nasihat kepada pemohon untuk merombak struktur permohonannya untuk diawali dengan kewenangan MK untuk menguji UU terhadap UUD, kedudukan hukum Pemohon yang menunjukkan kerugian konstitusional pemohon, posita atau argumentasi dan tuntutan atau petitum. Alim juga mengingatkan kepada pemohon mengenai kewenangan MK mengadili norma dalam UU “MK tidak mengadili kasus konkrit, tapi bisa menjadi pintu masuk pengujian norma, untuk menerangkan kerugian saudara,” kata mantan Ketua Pengadilan Tinggi Makassar itu.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menilai tuntutan pemohon kontradiktif, di satu sisi pemohon meminta agar kedua pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, namun dalam tuntutan lainnya pemohon meminta kepada MK untuk memberikan penafsiran konstitusional terhadap kedua pasal tersebut.
Sedangkan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengingatkan kepada pemohon, jika ketentuan Pasal 1 angka 10 huruf a mengenai pra-peradilan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi maka tidak ada lagi payung hukum bagi seorang terdakwa untuk melakukan proses pra-peradilan. “Kalau ketentuan Pasal 1 angka 10 huruf a ditiadakan, bagaimana kedepannya?” tanya mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu.
Pemohon diberi waktu paling lambat 14 hari untuk memperbaiki permohon.(Ilham)