Konsekuensi jika menaikkan batasan usia menikah 18 tahun dari 16 tahun dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) justru akan memberikan dampak negatif terhadap anak-anak Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Psikolog Elly Risman dari Yayasan Buah Hati, Ahli yang dihadirkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Kalau kita tingkatkan usia pernikahan ke 18 tahun, maka usia laki-laki pun turunkan. Satu yang terjadi, bukan hanya perzinahan, kita pun membuat rakyat kita berbohong. Untuk itu, saya mengusulkan kepada Majelis Hakim Yang Mulia tetap mempertahankan Pasal 7 ayat (1) usia nikah 16 tahun,” ungkap Elly dalam sidang yang digelar pada Kamis (18/12) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pemaparannya, Elly menyebut jika batasan menikah dinaikkan menjadi 18 tahun, justru semakin membuka luas pintu perzinahan di kalangan remaja. Dengan batasan usia 16 tahun saja, lanjutnya, ditemukan angka kasus hamil di luar nikah hingga aborsi yang terus meningkat di kalangan remaja Indonesia. Australian Consortium for `In-Country` Indonesian Studies menemukan data 43% dari 100 kelahiran dilakukan oleh remaja usia 15-16 tahun. “Sekarang 800.000 dari 2,4 juta aborsi tiap tahun dilakukan anak SMP. Kalau kita naikkan bagaimana?” ujarnya.
Elly memaparkan rekomendasi MUI agar Pemerintah mempunyai kewajiban mencerdaskan ayah-bunda Indonesia untuk mampu mengasuh anak-anak dengan memberikan pendidikan persiapan masa baligh. “Mudah-mudahan ini jadi Dirjen Parenting di Diknas. Memberikan pendidikan persiapan pernikahan pada sekolah menengah SMP, SMA, agar mereka siap menjadi suami-istri di era digital dan mampu mengasuh generasi platinum. Dan kami harapkan bagi kaum muslim, BP4 menjadi Dirjen di Kementerian Agama,” tuturnya.
Sementara Persatuan Gereja Indonesia memiliki pendapat berbeda. Albertus Patty selaku perwakilan PGI menjelaskan, regulasi negara yang membolehkan anak perempuan dinikahkan atau menikah dalam usia 16 tahun, sama artinya negara telah merebut masa depan anak-anak perempuan. Dengan regulasi itu, lanjutnya, negara dinilai merebut kesempatan anak-anak perempuan untuk bertumbuh, dan terutama akan merebut kebahagiaan mereka, dan menempatkan dalam bahaya dan bahkan kematian.
“Kebijakan yang tidak mempertimbangkan keselamatan anak-anak perempuan kita, menurut kami adalah suatu kriminalitas. Berdasarkan argumentasi di atas, dan berdasarkan berbagai pertimbangan yang sudah kami sebutkan di atas, maka kami berpandangan bahwa pernikahan dini atau pernikahan anak-anak khususnya perempuan di bawah usia 18 tahun adalah pernikahan yang tidak menghargai sakralitas tubuh manusia,” tegasnya.
Sebelumnya, ketentuan tentang batas usia menikah minimal 16 tahun digugat oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Dalam pokok permohonannya, Pemohon menyatakan usia minimal 16 tahun yang diatur dalam UU Perkawinan dinilai terlalu beresiko untuk masa pertumbuhan seorang perempuan, sehingga terjadi perebutan gizi antara si ibu dan janin yang akan dikandungnya. Selain itu, banyaknya perkawinan di usia tersebut berbanding lurus dengan banyaknya angka perceraian. Lebih lanjut Pemohon menyatakan bahwa batasan usia 16 tahun dalam UU tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena dalam beberapa UU yang lain, seperti UU Perlindungan Anak dinyatakan bahwa batasan usia dewasa seseorang adalah 18 tahun. (Lulu Anjarsari)