Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Perppu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota - Perkara No. 118, 119, 125, 126, 127, 129, 130/PUU-XII/2014 - pada Selasa (16/12) siang. Agenda sidang adalah keterangan pihak Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H.
Dalam persidangan, Wicipto Setiadi menyampaikan sikap Pemerintah untuk terus mendukung terselenggaranya Pemilihan Kepala Daerah melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat. Pemerintahan sebelumnya yang saat itu masih dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang menerbitkan Perppu Pilkada Tahun 2014, berusaha menangkap aspirasi masyarakat yang menginginkan dilakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat.
Sementara dari sisi pembentukannya, lanjut Wicipto, Pemerintah menilai tidak ada yang salah dengan prosedur penetapan Perppu tersebut. Penerbitan Perppu merupakan hak Presiden sehingga tidak bertentangan dengan konstitusi. Sesuai ketentuan yang berlaku, Perppu hanya dapat dikeluarkan dalam keadaan kegentingan yang memaksa.
“Dengan disahkannya UU Pilkada oleh DPR yang mengatur pilkada melalui DPRD yang mendapat penolakan keras dari masyarakat, maka Pemerintah pada saat itu merasa perlu untuk mengeluarkan Perppu Pilkada demi menyelamatkan hak konstitusional rakyat yang masih ingin dilakukannya pilkada langsung,” jelas Wicipto.
Dijelaskan Wicipto, Perppu 2014 merupakan peraturan yang menjamin pemilihan Gubernur / Bupati dan Walikota dilaksanakan secara demokratis sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945, sehingga asas demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam pemilihan kepala daerah wajib dilaksanakan.
“Pemerintah berharap, MK dapat mempertahankan keberlakuan Perppu Pilkada demi menjamin kepastian dan keadilan hukum yang demokratis,” tegas Wicipto.
Wicipto melanjutkan, terhadap konsekuensi dari penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada secara langsung tersebut, agar tidak menimbulkan kondisi ketidakpastian hukum di masyarakat, maka perlu menerbitkan perppu perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang isinya menghapus tugas dan wewenang DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota untuk memilih kepala daerah.
“Dengan dikeluarkannya perppu pilkada maka pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Oleh karena itu tugas dan kewenangan DPRD untuk melakukan pemilihan kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang Pemda harus dihapus sejalan dengan perppu pilkada,” tambah Wicipto.
Berdasarkan uraian tersebut, ungkap Wicipto, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perppu merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang diperlukan keberadaannya dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia.
“Hal itu sebagai salah satu konsekuensi logis dianutnya sistem presidensil dalam pemerintahan negara Republik Indonesia yang eksistensinya dipertahankan dalam sejarah konstitusi di Indonesia,” tandas Wicipto.
Mahkamah Konstitusi masih akan membuka sidang lanjutan pengujian Perppu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota - Perkara No. 118, 119, 125, 126, 127, 129, 130/PUU-XII/2014 - pada 8 Januari 2015 dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli Pemohon. (Nano Tresna Arfana)