Pemerintah menilai permohonan yang diajukan oleh Bupati Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang tentang aturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur pengertian umum “tersangka” dan dasar dilakukannya penangkapan dan penahanan Pemohon tidak sesuai UUD 1945 karena merupakan constitutional complain, bukan constitutional review. Hal ini diungkapkan oleh Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM Wicipto Setiadi dalam sidang pengujian Undang-Undang yang digelar Mahkamah Konstitusi pada Kamis (11/12) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Pemohon mengajukan constitutional review karena keberlakuan Pasal 1 angka 14, dan Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang menurut Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Menurut Pemerintah, hal ini tidak memiliki dasar karena pasal a quo merupakan aturan yang dijadikan dasar penegakan hukum dalam sistem hukum acara pidana,” jelas Wicipto dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Selain itu, Wicipto menjelaskan keberatan yang diajukan Pemohon tersebut bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi karena keberatan Pemohon bukan merupakan constitutional review, melainkan constitutional complain. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menegaskan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dengan demikian, menurut Pemerintah, yang diperiksa dan diputus oleh MK adalah bertentangan atau tidak suatu norma undang-undang dengan konstitusi, bukan mengenai penerapan atau implementasi dari norma undang-undang yang dianggap Pemohon melanggar hak konstitusionalnya.
“Sehingga, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan adalah tepat jika Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, niet ontvankelijk verklaard,” jelas Wicipto.
Bupati Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang mengajukan pengujian isi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur pengertian umum “tersangka” dan dasar dilakukannya penangkapan dan penahanan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana perkara dengan Nomor 117/PUU-XII/2014 ini digelar oleh MK pada Selasa (11/11) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam sidang tersebut, Pemohon yang diwakili oleh Tommy Sihotang, menjelaskan hak konstitusional pemohon terlanggar akibat berlakunya Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut merupakan rangkaian pasal berkaitan dengan penetapan tersangka dengan disertai dengan bukti permulaan yang cukup, namun bersifat multitafsir.
Dalam permohonannya, Pemohon mempaparkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merugikan hak konstitusional Pemohon dalam serangkaian penyidikan terhadap Pemohon karena KPK tidak dapat menunjukkan bukti permulaan yang cukup. Penetapan Pemohon sebagai tersangka yang ditindaklanjuti dengan penahanan oleh KPK menjadi ilegal karena penahanan tersangka dilakukan dalam hal untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna menemukan tersangkanya, dengan perkataan lain KPK menetapkan Pemohon sebagai tersangka dan melakukan penahanan (Rutan) tidak disertai dengan bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup. “Dalam pelaksanaannya, karena ternyata dalam KUHAP sendiri tidak ada batasan mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup. Demikian pula pelaksanaan upaya paksa lain seperti penangkapan dan penahanan yang rentan terjadinya pelanggaran konstitusional,” papar Tommy.
Pemohon menilai jika dibandingkan Pasal 1 butir 14, Pasal 17, dan Pasal 21 KUHAP, dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatur bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, maka ketentuan tentang bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup dalam Pasal 1 butir 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) bersifat multitafsir. Hal ini, lanjut Tommy, sangat berbahaya dan sangat dekat dengan kesewenang-wenangan. “Seandainya penilaian kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan oleh keyakinan seperti yang dianut sistem pembuktian conviction intime, sebab keyakinan itu bersifat abstrak dan tersembunyi secara subjektif, dan sulit mengujinya,” ujarnya.
Untuk itulah dalam petitum provisinya, Pemohon meminta agar MK memerintahkan kepada KPK untuk menghentikan, atau sekurang-kurangnya menunda penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik-36/01/08/2014 tanggal 15 Agustus 2014. “Menerima dan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terhadap UUD 1945, sepanjang tidak ditafsirkan: bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup dalam menetapkan tersangka dan melakukan penahanan,” jelasnya.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman memberikan saran perbaikan bagi pemohon. Hakim Konstitusi Maria menilai permohonan pemohon terlalu banyak menjelaskan kasus konkret yang menjadi akibat berlakunya pasal-pasal yang diuji pemohon. “Di sini lebih banyak kasus-kasus konkretnya, jadi lebih baik kemudian dipertentangkan pasal-pasal itu terhadap pasal-pasal yang dijadikan batu uji. Batu ujinya, tiga pasal itu bisa langsung pada tiap-tiap pasal atau sekaligus dalam pasal itu, ya. Itu yang harus dikemukakan,” sarannya. (Lulu Anjarsari)