Budayawan dan filsafat Romo Franz Magnis Suseno dihadirkan oleh Pemohon dalam persidangan uji Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1). Dalam persidangan tersebut, Romo Magnis mengatakan bahwa dalam negara Pancasila, agama-agama dan kepercayaan dijunjung tinggi, begitu pula dengan perkawinan. “Perkawinan yang secara sah diakui oleh agama, dengan demikian juga diakui secara sah oleh negara adalah ketentuan yang tepat dan juga terpuji,” ungkap pemuka agama Katolik tersebut.
Namun demikian, menurutnya negara tidak berhak untuk memaksakan perkawinan dilaksanakan secara suatu agama tertentu. Bagi Magnis, dalam negara Pancasila, negara tidak mengatur agama tapi memberi ruang, lindungan, dorongan, bagi warga negaranya untuk melaksanakan aturan sesuai apa yang dia yakini. “Oleh karena itu saya berpendapat bahwa perlu ada aturan agar perkawinan dianggap sah dihadapan negara meskipun tidak mengikuti aturan salah satu agama tertentu,” ujar Magnis.
Sementara itu ahli lain yang diajukan adalah Kunthi Tri Dewiyanti. Menurut aktivis dari Komnas Perempuan ini, berlakunya aturan tersebut seringkali menjadikan perempuan sebagai korban. “Wanita yang secara ekonomi atau kedudukan lebih lemah, seringkali harus mengorbankan keyakinan mereka ketika dihdapkan pada situasi tersebut (perkawinan beda agama),” jelas Kunthi.
“Krisis identitas perempuan (agama) terkadang menjadi akibat dari aturan yang secara implisit menghalangi perkawinan beda agama,” tambahnya.
Dalam keterangannya, Kunthi mengingatkan bahwa penjelasan mengenai aturan ini harus diinterpretasikan dengan jelas. Menurut Kunthi, selama bertahun-tahun perkawinan beda agama dibiarkan menjadi hal yang terombang-ambing, sah namun tidak diakui, diakui, atau tidak sah dan tidak diakui. Ketidaktegasan tersebut semakin menonjol ketika pada akhirnya interpretasi atas hal tersebut diserahkan pada masing-masing individu ataupun pada aparat/pihak yang berwenang, hal tersebut menurut Kunthi adalah bentuk diskriminasi mengingat akibat-akibat yang bisa ditimbulkannya.
“Menurut kami, perlu ada penjelasan spesifik mengenai Pasal a quo sehingga tidak menjadi multitafsir dan memiliki kepastian hukum , sehingga akibat diskrimiatif yang ditimbulkannya tidak lagi muncul di kemudian hari,” tukas Kunthi.
Sidang mendengarkan keteranganahli yang diselenggarakan pada hari Kamis (4/12) ini adalah siding pemeriksaan terakhir yang dijadwalkan untuk perkara pengujian Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1). Ketua MK, Hamdan Zoelva yang memimpin sidang kali ini mengatakan bahwa keterangan dari berbagai phak akan dipertimbangkan dalam keputusan perkara ini nantinya dan para pemohon dipersilahkan untuk menyampaikan keterangan tertulis serta kesimpulan kepada Mahkamah.
Sebelumnya, sidang pengujian perkara yang diajukan oleh beberapa mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia ini, telah menghadirkan beberapa representasi dari kelompok-kelompok agama yang dianggap merepresentasikan masyarakat Indonesia. (Winandriyo Kun A).