Udara sejuk kawasan Puncak, Cisarua dimana Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi bertempat hanya menambah kenyamanan yang disediakan untuk menyambut 120 Pemimpin Pondok Pesantren peserta Pendidikan Konstitusional Warga Negara dan Seminar Nasional Agama Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Dinginnya udara kawasan puncak dikalahkan oleh kehangatan penyambutan para peserta oleh panitia untuk acara yang diselenggarakan atas Kerjasama Mahkamah Konstitusi dan Kementerian Agama ini.
Dibuka oleh Ketua MK Hamdan Zoelva pada Jumat (5/12), acara yang berlangsung pada Jumat-Minggu, 5-7 Desember 2014 tersebut ditujukan untuk memberi pemahaman bernegara sesuai dengan Konstitusi sekaligus menyelaraskan hal tersebut dengan ajaran Islam. Dalam pembukaannya Hamdan mengatakan bahwa umat Islam di Indonesia haruslah menjadi teladan bagi kelompok lain yang minoritas. “Tidak perlu menjadi radikal umat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas haruslah menjadi contoh dalam bernegara, sekaligus menghargai kelompok lain yang juga tumbuh bersama Umat Islam dalam membangun bangsa,” pesan Hamdan.
Sementara itu, dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Sekjen MK Janedjri M. Gaffar tersebut, Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin mengungkapkan bahwa Negara Indonesia adalah negara dengan corak agama yang kuat, meskipun tidak secara khusus dideklarasikan sebagai negara Islam. “Indonesia bukan negara Islam bukan juga negara sekuler, tapi corak agama sangat kental muncul, terlihat mulai dari filosofi hingga hirarki negara, semuanya mengakomodasi nilai-nilai Islam,” ujar pria yang telah menjabat sebagai Menteri Agama sejak era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini.
“Tidak secara tegas menghukumi secara syariat, tetapi setidak-tidaknya aturan dan perundang-undangan di Indonesia tidak ada yang melanggar syariah,” tambahnya.
Indonesia sebagai Darussalam
Mantan Ketua MK, Mahfud MD juga menjadi salah seorang pembicara yang dihadirkan dalam seminar tersebut. Ahli hukum tata negara yang saat ini menjadi Ketua Presidium KAHMI ini, mengungkapkan bahwa meskipun Syariah tidak dijalankan secara langsung di Indonesia tapi substansi dari pemberlakuan syariah itu tetap terkandung dalam aturan perundang-undangan. “Misalnya, hukum potong tangan dmaksudkan agar seseorang tidak mencuri lagi. Di sini kita ubah menjadi hukuman penjara. Dari situ kan substansinya sama,” ujar Mahfud.
Ia juga mengatakan bahwa Indonesia termasuk dalam golongan Darussalam atau negeri keselamatan menurut kategorisasi negara berdasarkan kepahaman Islam. “Meskipun tidak menganut Syariah secara langsung, tapi di Indonesia kegiatan beribadah dijamin dan lagi perangkat kenegaraannya juga banyak merefleksikan nilai-nilai Islam, “ jelas Mahfud seraya menambahkan bahwa dengan demikian Indonesia sama sekali bukanlah darul harbi atau negara peperangan dan oleh karenanya wajib bagi umat Islam untuk membela negara yang telah memberikan perlindungan terhadap berlangsungnya ibadah keagamaan.
Menurut Mahfud yang akrab dengan dunia santri ini, Allah secara khusus mengajarkan toleransi kepada umat manusia, “Allah menciptakan setiap manusia berbeda untuk dicari kesamaan-kesamaan yang mempersatukan kita. Jika Allah mau tentu Allah Maha Kuasa menciptakan semua manusia sama, tetapi hal itu tidak terjadi, disinilah celah kita untuk berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut,” ujar Mahfud.
Kepada para Pemimpin Pondok Pesantren yang datang dari seluruh penjuru Indonesia ini, Mahfud berpesan, “Umat muslim wajib membela dan menjaga Indonesia sebagai kesepakatan bersama untuk menuntaskan tugas kemanusiaan kita bersama,” tutup Mahfud yang langsung dibalas tepukan tangan dari para peserta yang malam itu (6/12), memenuhi Aula Pusdik Pancasila dan Konstitusi.
Tauhid dalam Pancasila
Salah seorang peserta, KH Misbahul Anam pemimpin ponpes Al Umm, Ciputat mengatakan bahwa nilai agama memang telah muncul dalam ideologi dan konstitusi bangsa, meskipun ada keraguan terhadap alasan kesepakatan Piagam Jakarta kemudian dihilangkan “Kita lewat serangkaian kompromi memang telah menghilangkan kewajiban menjalankan syariah dalam hukum negara. Tetapi Allah menyelamatkan kita dengan nilai Tauhid (Ketuhanan yang Maha Esa) dalam Pancasila, itu adalah bagian yang paling esensial,” ujar Anam yang juga mengungkapkan mendapat banyak manfaat dari Seminar ini dan mengharapkan kegiatan berikutnya lebih banyak mengundang Ponpes-ponpes lain yang seringkali dianggap bersebrangan dengan pemerintah.
Acara yang ditutup pada Minggu (7/12) ini kemudian dilengkapi dengan pembacaan rekomendasi dari para kiyai pimpinan pondok pesantren. Setelah penyampaian rekomendasi untuk penyelarasan nilai agama dan kenegaraan berkelanjutan sebagai hasil Pendidikan selama tiga hari tersebut, Kepala Pusdik Pancasila dan Konstitusi Noor Sidharta mengetuk palu untuk menandai akhir dari rangkaian acara yang berlangsung selama tiga hari tersebut.
Berakhirnya acara itu tidak serta merta membuat pendidikan Konstitusi di lingkungan pesantren berakhir, diharapkan para peserta yang merupakan tokoh-tokoh berpengaruh ini mampu menyebarluaskan paradigma kenegaraan baru mereka kepada para santri-santri yang kelak akan menggerakan roda-roda instrumen negara dengan pengetahuan agama dan kenegaraan yang selaras. (Winandriyo Kun)