Pondok Pesantren merupakan salah satu utama tonggak pendidikan di Indonesia. Umat Islam yang menjadi bagian dari 86% penduduk Indonesia, tentu banyak mengandalkan pesantren sebagai tempat menimba sekaligus mendalami ilmu agama. Tidak sedikit alumni pondok pesantren yang kemudian terlibat dalam urusan kenegaraan, dari sejak awal negara ini terbentuk hingga kini sistem negara ini telah berjalan secara independen selama hampir 70 tahun.
Demikian disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva saat membuka acara “Pendidikan Hak Konstitusional Warga Negara dan Seminar Nasional Pendidikan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin” bagi para pimpinan Pondok Pesantren Se-Indonesia, Jumat (5/12) malam. Acara ini diselenggarakan selama tiga hari, 5-7 Desember 2014 di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor.
Lebih lanjut Hamdan menambahkan, meskipun merupakan bagian dengan status mayoritas, umat islam tidak serta merta menjadi penguasa yang semena-mena atas kehidupan bernegara. Pelaksanaan hak umat islam sama sekali tidak boleh menciderai Konstitusi dan hak-hak kelompok lain yang juga juga menjadi komponen penting dalam negara. “Patut diingat, Indonesia bukan negara Islam namun juga bukan sekuler. Negara ini menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan itu berarti menghargai hak beragama kelompok lain, serta menjaga hubungan dengan hidup berdampingan, kita menginginkan negara Indonesia damai dari Islam yang Rahmatan Lil Alamin,” ujar Hamdan.
Hamdan juga menyatakan bahwa sistem negara era reformasi saat ini sudah berubah dibanding era-era sebelumnya. Semua orang yang berkeinginan untuk memperbaiki negara bisa menggunakan haknya untuk berkontribusi dan hal itu diakomodasi oleh negara. Menurt Hamdan, ada dua cara yang bisa dilakukan setiap warga Negara untuk berkontribusi dalam rangka memoerbaiki kehiduoan berbangsa dan bernegara. “Pertama adalah melalui pengaduan Hak Konstitusi, siapapun yang merasa hak konstitusionalnya terlanggar dan merasa ada aturan yang menyebabkan hal tersebut, silahkan ajukan ke Mahkamah Konstitusi. Siapapun pasti akan kami layani dan kami pertimbangkan permintaanya,” ujar Hamdan yang pada acara tersebut didampingi oleh Sekjen MK, Janedjri M. Gaffar.
“Yang kedua adalah melalui Demokrasi, ingat umat Islam adalah mayoritas di Indonesia. Demokrasi sendiri menganut majority rule, umat islam tidak perlu minder bernegara. Jika ada yang kita anggap tidak sesuai, tidak perlu menjadi radikal atau menggunakan kekerasan melawan ketidak sesuaian tersebut. Semua ada aturannya dan kepentingan umat islam pasti akan diakomodasi oleh negara,” tegas Hamdan.
Sementara Menteri Agama, Lukman Hakim Saifudin, yang juga hadir pada pembukaan tersebut, mengatakan bahwa Islam di Indonesia harus mengingat jati dirinya sebagai Islam yang tumbuh di antara keragaman etnis, budaya, dan agama. “Perlu diingat, kita tumbuh di antara keberagaman, jati diri perlu dipertahankan agar kita tidak tercerabut dari kenyataan ini. Umat islam di Indonesia perlu kepahaman bernagara karena Konstitusi dan filosofi negara ini sebetulnya sudah menempatkan nilai dan norma agama dalam tempat yang semestinya,” kata Lukman.
Acara pendidikan Pendidikan Hak Konstitusional Warga Negara dan Seminar Nasional Pendidikan Islam ini sendiri merupakan tindak lanjut nota kesepahaman antara MK dengan Kementerian Agama yang ditandatangani beberapa waktu lalu. Acara yang baru berlangsung pertama kali ini, diharapkan dapat menjadi agenda tahunan yang memberi dampak positif untuk membentuk kader-kader Islam relijius yang mampu menempatkan diri dalam kehidupan bernegara. (Winandriyo Kun)