Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan Pemohon pengujian Undang-Undang Nomor. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang diajukan oleh Bernard Samuel Sumarauw. Sidang pengucapan putusan perkara yang teregistrasi oleh dengan Nomor Perkara 64/PUU-XII/2014, digelar di ruang Pleno MK, pada Rabu (03/14).
Dalam pertimbangannya, setelah memeriksa seluruh permohonan, Majelis Hakim Konstitusi tidak menemukan adanya argumentasi hukum yang jelas mengenai inkonstitusional dalam ketentuan UU 17 Tahun 2002 yang diajukan oleh Pemohon.
Selain itu, menurut Hakim Konstitusi Patrialis Akbar yang membacakan kewenangan Mahkamah menyampaikan, permohonan Pemohon terkait dengan Undang-Undang 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang nomor28 tahun 2014 tentang Hak Cipta yang diundangkan pada 16 Oktober 2014 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599. Sehingga, menurut Mahkamah oleh karena Undang-Undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya tersebut sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku maka objek permohonan sudah tidak ada.
Sebelumnya pemohon mendalilkan, ketentuan mengenai pengumuman terhadap suatu ciptaan yang terdapat pada Pasal 18 ayat (1) UU Hak Cipta tidaklah jelas dan bersifat multitafsir. Pengertian “untuk kepentingan nasional” dirasakan tidak adil, kurang jelas dan ambivalen menimbulkan multitafsir dan memberi kesan pengambilalihan secara tidak langsung atau setidaknya bahwa negara memberi kesempatan kepada warganya untuk melakukan kegiatan yang sebenarnya pelanggaran illegal.
Untuk itulah, Pemohon meminta agar Majelis Hakim membatalkan berlakunya Pasal 18 ayat (1) UU Hak Cipta dan menyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon juga meminta agar MK memerintahkan kepada Pemerintah untuk membayar kerugian atas kepentingan yang wajar dan juga memberikan imbalan yang layak sesuai hukum yang berlaku selama lebih kurang 20 tahun atas ciptaan Pemohon sesuai ketentuan dan wewenang yang ada pada materi Pasal 18 ayat (1).
Pemohon mendalilkan dirinya adalah penggagas program dana santunan sosial pribadi bernama Priscard yang ditawarkan pada 3 Juli 1991, 29 Juni 1992 dan 9 Agustus 1993 kepada Menteri Tenaga Kerja, Menteri Keuangan, Menteri Sosial dan Gubernur DKI Jakarta. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1993 dikeluarkan surat himbauan yang menyatakan adanya sengketa hukum atas pelanggaran hak cipta antara Program Jamsostek dan Program Priscard tersebut. Selanjutnya, keluar surat jawab dari Ketua DPR pada 19 Desember 2000, Jaksa Agung pada 10 April 2001 dan Komnas HAM pada 2 Juni 1998 yang secara eksplisit menyatakan bahwa Program Jamsostek telah melanggar Undang-Undang Hak Cipta.
Namun, kemudian Pemerintah dan DPR mengesahkan UU Hak Cipta yang dalam Pasal 18 ayat (1) mengandung frasa “untuk kepentingan nasional”. Akibatnya, dengan dalil kepentingan nasional, Pemohon merasa hak kekayaan intelektualnya telah dirampas. Pemohon menganggap ketentuan tersebut telah menimbulkan rasa tidak adil, kurang jelas, dan multitafsir. Dengan adanya ketentuan ini, Pemohon sebagai pemegang hak cipta atas Program Priscard tidak mendapatkan haknya dan dalam hal ini Pemerintah bertindak sewenang-wenang atas hak cipta program Priscard yang menurut Pemohon telah dicontek oleh Program Jamsostek tersebut. (panji erawan)