Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya tersangka kasus dugaan penerimaan suap penganggaran proyek pengadaan Al-Quran dan Laboratorium Kementerian Agama, Zulkarnain Djabar. Putusan dengan Nomor 75/PUU-XI/2013 ini dibacakan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva dan delapan hakim konstitusi lainnya pada Kamis (3/12).
“Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Pokok permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Menyatakan menolak untuk seluruhnya permohonan Pemohon,” ucap Hamdan di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Mahkamah menjelaskan proses pembuktian yang dilakukan oleh jaksa sebagai penuntut umum sepanjang memiliki alat bukti dan/atau barang bukti menurut hukum, dan hakim yang secara hukum sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berwenang menilai dan menetapkan terbukti atau tidak terbuktinya, serta meyakini atau tidak meyakini pengetahuan tersebut bagi pelaku atau subjeknya, sesuai dengan salah satu prinsip negara hukum yaitu due process of law.
Selain itu, lanjut Maria, frasa “patut diduga” dalam Pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) juga tidak menimbulkan ketidaksamaan di dalam hukum dan pemerintahan serta ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, karena norma tersebut berlaku untuk semua orang (subjek hukum), sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pasal 12 huruf a dan huruf b tersebut juga sesuai dengan maksud dan tujuan diubahnya UU 31/1999 dengan UU 20/2001, yaitu supaya tidak menimbulkan keragaman tafsir yang mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Sebelumnya, Zulkarnain Djabar mendalilkan bahwa hak konstitusional Pemohon telah dirugikan dengan diterapkannya Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Pemohon menilai, Pasal 12 UU PTPK tidak memiliki kepastian hukum karena dengan Pasal 12 UU tersebut itu pulalah Pemohon didakwa sebagai penerima suap proyek pengadaan Al Quran dan Laboratorium Kementerian Agama.
Pasal 12 menyatakan “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara Paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Selain itu, Pemohon menilai Pasal 12 UU PTPK tidak memenuhi standar sebagai the rules of law principles sebagaimana dirumuskan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa. Pemohon menegaskan bahwa pasal tersebut telah menjelma menjadi suatu norma tanpa batas sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Hal itu disebabkan bunyi frasa “patut diduga” dalam poin-poin dalam pasal tersebut menimbulkan konsekuensi hukuman kepada Pemohon menjadi lebih tinggi dibandingkan Pasal 5 UU PTPK. (Lulu Anjarsari)