Sejumlah organisasi keagamaan mengajukan diri menjadi Pihak Terkait dalam pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Beberapa tokoh agama yang mewakili ormas tersebut hadir dan memberikan keterangan pada sidang perkara nomor 30 dan 74 /PUU-XII/2014 ini, Selasa (2/12) siang di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Salah seorang tokoh agama yang hadir, H. Amidhan yang mewakili Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, penetapan usia perkawinan dalam UU Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-undang. Batasan umur sekurang-kurangnya 16 tahun bagi pihak wanita untuk dapat melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang.
“Sehingga kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma a quo. Dengan demikian, pasal a quo yang dimohonkan pengujian tidak mengurangi, mengabaikan, dan bahkan menghilangkan hak-hak konstitusional yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945,” ujar Amidhan.
Dikatakan Amidhan, penetapan usia perkawinan dalam UU Perkawinan telah sesuai dengan nilai-nilai agama. Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah berumur 16 tahun. Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1), pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan bahwa usia perkawinan tersebut untuk menjaga kesehatan suami-istri dan keturunan, serta perlu ditetapkan batas umur untuk perkawinan.
“Sesuai hukum agama, memang tidak ditentukan sampai pada batas minimal berapa sesorang diizinkan melakukan perkawinan, termasuk Islam. Dalam hukum agama, misalnya Islam, hanya diatur dalam soal baligh, di mana seorang mulai dibebani atau ditaklif dengan beberapa hukum syara’,” ungkap Amidhan.
MUI berpandangan, dalil Pemohon juga tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi Mahkamah untuk mengubah frasa ”16 tahun” menjadi ”18 tahun” dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Sebab alat uji yang dikemukakan Pemohon adalah dalam bentuk konvensi hak-hak anak dan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, meskipun sudah diratifikasi Indonesia.
Sementara itu I Nengah Dana yang mewakili Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat mengatakan, dalam Kitab Canakya Niti Sastra Adya disebutkan “Lalayet pancavarsani, dasavarsani tadayet, prapte tu sodasevarse, putram mitravadacaret.” Artinya, asuhlah anak dengan cara memanjakannya sampai umur 5 tahun, berikan ganjaran atau sanksi selama 10 tahun berikutnya, bila telah menginjak umur 16 tahun amat-amatilah tingkah lakunya dan berikan teguran, dan setelah dewasa berikanlah wacana seperti kepada seorang sahabat.
“Berdasarkan ungkapan kedua sloka tersebut dapat dipahami bahwa seseorang dianggap telah mencapai usia dewasa adalah setelah berumur lebih dari 16 tahun atau dimulai antara 16 tahun sampai 20 tahun,” imbuh Nengah Dana.
Dengan demikian, kata Dana, usia yang layak untuk kawin bagi seorang wanita adalah setelah mencapai usia 19 tahun. Tetapi, menurut beberapa penulis ahli sastra seperti Bhagawan Kullukabhata, Narayana, dan Raghawananda sebagaimana dikemukakan dalam buku Perkawinan Menurut Hindu, Gde Pudja, M.A, usia yang layak untuk kawin bagi wanita adalah 18 tahun. “Apabila ayahnya diharapkan untuk menunggu 3 tahun lagi, maka ini berarti bahwa putrinya baru dikawinkan pada umur 21 tahun,” tandas Dana.
Sedangkan dalam ajaran agama Konghucu, Djaengrana Ongawijaya dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), menjelaskan bagi kaum perempuan yang disebut akil baligh itu bukan berdasarkan haid, tapi berdasarkan upacara. “Dia menggunakan tusuk konde. Pada umur berapa? Pada umur 15 tahun. Jadi kalau perempuan mau dikatakan akil baligh, sesudah 15 tahun, ada upacara namanya Upacara Tusuk Konde,” kata Djaengrana.
“Sedangkan kaum laki-laki, pria kalau dia dianggap sudah dewasa, harus menggunakan upacara pakai topi. Berapa umurnya? 20 tahun,” jelas Djaengrana kepada Majelis Hakim Konstitusi. (Nano Tresna Arfana)