Suasana Aula Mahkamah Konstitusi pada Selasa (2/12) ramai oleh 35 Mahasiswa program pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Pagi itu, para mahasiswa yang mendalami ilmu ketatanegaraan dan hukum bisnis melakukan kunjungan ke lembaga peradilan yang telah menjadi pengawal Konstitusi sejak 2003. Didampingi oleh salah seorang dosen, Joko Sutiono, kunjungan kali ini disambut langsung oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Dalam kesempatan tersebut, Maria menjelaskan bahwa ide Mahkamah Konstitusi pertama kali muncul dalam sebuah pertanyaan, bisakah sebuah undang-undang diuji. “Kita dulu mewarisi hukum Belanda, di mana undang-undang tidak bisa digugat karena hukum Belanda menganut sistem parliament supremacy,” ujar perempuan pertama yang menjadi Hakim Konstitusi di Indonesia tersebut.
Maria menambahkan, pembahasan mengenai mekanisme pengujian undang-undang sudah muncul sejak era kemerdekaan. “Namun ketika itu ada banyak pertimbangan, di antaranya karena kita cenderung menganut distribution of power dan sebagai negara baru hal tersebut belum dibutuhkan,” kata Maria seraya menambahkan bahwa mekanisme Judicial Review sudah muncul sejak abad ke-19 dan lembaga yang secara khusus mengurusi hal tersebut dibentuk pertama kali di Austria, diberi nama Mahkamah Konstitusi.
Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi dibentuk pada 2003 berdasarkan hasil amandemen UUD 1945 tahap ketiga. Kini, di tengah situasi sosial politik nasional yang terus-menerus menguji independensinya, MK selama lebih dari sepuluh tahun tetap konsisten menjalankan tugas-tugasnya demi menjunjung tinggi UUD 1945.
“Atas dasar itu pula lah, MK pada tahun ini memutuskan bahwa kewenangan memutus sengketa pilkada tidak lagi menjadi kewenangannya. Berdasarkan aturan perundang-undangan, pilkada tidak termasuk rezim pemilu karena tidak termasuk pemilihan umum yang di atur dalam Pasal 22 E UUD 1945,” ujar Hakim yang juga seorang guru besar hukum perundang-undangan Universitas Indonesia ini.
Constitutional Complaint
Setelah menyimak pemaparan singkat tentang MK, Maria yang melayani membuka kesempatan bagi para mahasiswa untuk menyampaikan pertanyaan, disambut dengan antusias oleh para mahasiswa peserta kunjungan. Melihat latar belakang mereka yang erat dengan hukum ketatanegaraan, beberapa pertanyaan yang cukup kritis dilontarkan oleh mereka kepada Hakim Maria Farida Indrati. Rivai, salah seorang mahasiswa menanyakan tentang kewenangan MK menangani constitutional complaint (pengaduan konstitusional).
Menjawab pertanyaan tersebut, Maria menjelaskan Constitutional Complaint merupakan mekanisme yang cukup umum ditemui di lembaga-lembaga serupa MK di berbagai belahan dunia. Mahkamah Konstitusi Federasi Russia dan Mahkamah Konstitusi Republik Korea adalah contoh lembaga yang mengimplementasikan kewenangan ini. Kewenangan ini membuka jalan bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengubah norma Konstitusi atas dasar supremasi hak asasi manusia.
Akan tetapi, tambah Maria, saat ini kewenangan untuk menangani pengaduan konstitusional oleh MKRI belum diatur dalam UUD 1945. Menurut Maria, apabila pengaduan konstitusional hendak dijadikan sebagai salah satu kewenangan MK, pengaturannya akan membutuhkan proses cukup panjang karena berarti harus dilakukan amandemen Konstitusi terlebih dahulu. Namun demikian, Maria berpendapat, secara kenegaraan kita belum siap untuk mengadopsi kewenangan itu, mengingat sistem ketatanegaraan dan budaya berkonstitusi masyarakat Indonesia belum mendukung penerapan hal tersebut. “Kewenangan itu hanya bisa dijalankan dengan baik ketika semuanya sudah tertib” tandasnya. Namun demikian, menurut Maria, beberapa dari pengujian Undang-Undang yang diajukan ke MKRI terkadang sudah mulai menyentuh kepada Constitutional Complaint secara tidak langsung. (Winandriyo Kun)