Kuasa Hukum Pemohon Dedi Cahyadi memperkuat posita atau pokok permohonannya dalam pengujian Pasal 203 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Peru Pilkada).
Menurutnya, Perpu tersebut masuk sebagai bagian dalam ketentuan peralihan dan tujuan pembentukannya harus berfungsi untuk menjaga jangan sampai terdapat pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya perubahan ketentuan dalam suatu perundangundangan. Pemohon menganggap, nyatanya Perpu Nomor 1 Tahun 2014 itu tidak menjamin hak-hak konstitusional Pemohon.
Lebih lanjut, Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang diterjemahkan sebagai pemilihan langsung yang merupakan implementasi dari kedaulatan rakyat, tata cara pemilihannya, baik itu melalui pemilihan langsung ataupun dengan pemilihan melalui DPRD juga merupakan implementasi demokrasi, dimana anggota DPRD dalam jabatannya juga merupakan hasil dari pemilihan umum yang merupakan representasi hak kedaulatan rakyat.
“Dengan demikian, menurut Pemohon Pasal 203 ayat (1) Perppu a quo tidak mengakomodasi kedaulatan rakyat, dimana rakyat telah melaksanakan hak konstitusinya dengan memilih kepala daerah untuk masa jabatan 5 tahun ke depan. Dengan maksud dan tujuan bahwa gubernur, bupati, dan walikota yang dipilihnya sesuai dengan kompetensinya dan/atau keahliannya, serta kepercayaan untuk memimpin sebagai gubernur, bupati, dan walikota,” jelasnya di ruang sidang MK, Jakarta, Senin (1/12).
Oleh karena itu, Pemohon menganggap suatu kekeliruan apabila wakil kepala daerah dapat mengisi kekosongan jabatan gubernur, bupati, maupun walikota. “Hal tersebut, telah mendegradasi kedaulatan rakyat. Setiap kepala daerah, gubernur, bupati, dan walikota haruslah dipilih secara demokratis sebagai wujud dari kedaulatan,” imbuhnya.
Sehingga, menurut Pemohon, proses pengisian kekosongan jabatan tersebut semestinya tidak patut menghilangkan hakikat demokrasi. Dalam konteks ini, menurut Pemohon, mekanisme pemilihannya dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu melalui pemilihan langsung dan/atau melalui DPRD.
Pada sidang perdana, rumusan dalam Pasal 203 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dinilai merugikan hak konstitusional pemohon yang memiliki potensi untuk dipilih sebagai kepala daerah dan/atau memilih kepala daerah.
Pemohon adalah anggota DPR Provinsi Papua Yanni, dia mengatakan aturan Pasal 203 ayat (1) yang menyebutkan “Dalam hal terjadi kekosongan gubernur, bupati dan walikota yang diangkat berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota menggantikan gubernur, bupati dan walikota sampai dengan berakhir masa jabatannya”
Wakil kepala daerah yang otomatis menjadi Kepala Daerah tersebut dinilai berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan terhadap kepala daerah apabila mekanisme pergantian tanpa melalui proses pemilihan demokratis sebagaimana yang amanatkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ayat (4).
“Menurut Pemohon, pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota dipilih berdasarkan suara terbanyak dalam pemilihan langsung melalui mekanisme pilkada,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Syahrul Arubusman dalam sidang perdana perkara nomor 130/PUU-XII/2014 di ruang sidang MK, Jakarta, Senin (17/11).
Aturan tersebut, menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil karena mengabaikan hak politik rakyat. Rumusan itu juga sangat merugikan Pemohon karena telah menghilangkan hak konstitusional Pemohon yang memiliki potensi untuk dipilih sebagai kepala daerah dan/atau memilih kepala daerah dalam kedudukannya sebagai warga negara sebagaimana yang termaktub di dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap warga berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” (Lulu Hanifah)