Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Wicipto Setiadi mengatakan ketentuan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara tidak bersifat diskriminatif. Ketentuan tersebut justru sejalan dengan peraturan lainnya.
Mewakili Pemerintah, Wicipto menjelaskan definisi diskriminasi menurut Mahkamah Konstitusi adalah jika perlakuan secara berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya, bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda. “Oleh karena itu, jika perlakuan terhadap setiap orang sebagai warga negara diperlakukan berbeda terhadap seorang pegawai aparatur sipil negara, hal itu bukanlah diskriminatif karena antara seseorang warga negara dengan pegawai aparatur negara, kedudukannya berbeda,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (27/11).
Terkait dengan keharusan pegawai ASN untuk mengundurkan diri apabila hendak mendaftar sebagai calon anggota partai politik, ketentuan itu sudah sejalan dengan ketentuan persyaratan bagi setiap pejabat negara di lembaga negara lainnya dalam ketentuan peraturan perundang-undangannya agar mengundurkan diri terlebih dahulu. Salah satunya adalah ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan, “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan. a. Mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus badan usaha negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali.”
Selain itu, imbuhnya, MK juga pernah memberikan pertimbangannya dalam Putusan MK Nomor 12/PUU-XI/2013 tanggal 9 April 2013 yang pada pokoknya menyatakan ketika PNS mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam jabatan politik yang diperebutkan melalui mekanisme pemilihan umum maka PNS harus mengundurkan diri. Keharusan mengundurkan diri sebagai PNS tersebut tidak harus diartikan pembatasan HAM karena tidak ada HAM yang dikurangi dalam konteks ini, melainkan sebagai konsekuensi yuridis atas pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik, sehingga wajib mengundurkan diri dari PNS guna mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang birokrasi pemerintahan.
Dia menambahkan, materi tentang pengunduran diri pegawai ASN dalam Undang-Undang ASN sebelumnya juga pernah diuji materi dan diputus oleh MK. Permohonan tersebut memiliki alasan dan maksudnya hampir sama dengan permohonan yang tengah diujikan, sehingga terhadap perkara a quo berlaku mutatis mutandis.
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat bahwa Pemohon tidak beralasan dan tidak terbukti secara nyata hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang ASN. “Sehingga adalah tepat jika Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujarnya.
Pada sidang perdana, Eduard Nunaki, Pegawai Negeri Sipil asal Papua sebagai Pemohon menilai aturan yang menyatakan PNS harus mundur dari statusnya apabila ingin menjadi pejabat publik inkonstitusional. "Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara dirugikan dengan UU tersebut karena hak politiknya tidak diberikan ruang," katanya.
Menurut Pemohon, dirinya selaku PNS dan warga negara memiliki hak yang sama dengan warga negara lain untuk ikut berperan dalam pemerintahan. Khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat, ia mengaku tidak dapat membayangkan seperti apa pemerintahan apabila calon pemimpin pemerintahan tidak pernah bekerja di jajaran birokrasi.
Pasal 119 Undang-Undang Nomor No. 5 Tahun 2014
"Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon,"
Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor No. 5 Tahun 2014
“Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon”
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN bertentangan dengan konstitusi. "Jika tidak untuk seluruh Indonesia, maka untuk Papua dan Papua Barat diharap menjadi pertimbangan,"imbuhnya. (Lulu Hanifah)