Persyaratan untuk menanggalkan jabatan sebelum menjabat sebagai anggota BPK yang hanya berlaku bagi pejabat negara di lingkungan eksekutif menimbulkan konflik kepentingan. Hal ini disampaikan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra selaku Ahli Pemohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) yang digelar di Mahkamah Konstitusi pada Rabu (26/11). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 106/PUU-XII/2014 tersebut diajukan oleh seorang advokat dan seorang notaris, yakni Ai Latifah Fardhiyah dan Riyanti.
Saldi menjelaskan, Pasal 13 huruf j Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 mempersyaratkan untuk dapat dipilih sebagai anggota BPK, paling singkat telah dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara. Namun, lanjut Saldi, dalam praktik pengisian jabatan anggota BPK, syarat tersebut hanya berlaku untuk calon yang berasal dari lingkungan eksekutif atau pemerintah, tidak berlaku bagi calon yang berasal dari anggota DPR. Sementara keberadaan persyaratan tersebut adalah untuk menghindari adanya konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas-tugas BPK sebagai lembaga pemeriksa pertanggungjawaban keuangan negara yang bebas dan mandiri.
“Pada intinya Pemohon mendalilkan bahwa ketiadaan peraturan tentang jangka waktu berapa lama seorang mendaftarkan diri menjadi anggota BPK harus meninggalkan terlebih dahulu status sebagai anggota DPR membuka ruang terjadinya konflik kepentingan dalam proses seleksi calon anggota BPK di DPR,” ujarnya di hadapan Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
“Apabila persyaratan meninggalkan jabatan di lingkungan pengelolaan keuangan negara ditujukan untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan, semestinya persyaratan jangka waktu meninggalkan jabatan tertentu tersebut juga harus diterapkan bagi anggota DPR, sebab dengan tidak menerapkan syarat dimaksud bagi anggota DPR juga akan menyebabkan terjadi kepentingan, baik dalam proses pemilihan, maupun dalam proses pelaksanaan tugas BPK,” paparnya.
Sebelumnya, dalam pokok permohonannya, para Pemohon menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 28 (d) dan Pasal 28 (e) UU BPK. Pasal 28 (d) UU BPK menyatakan “Anggota BPK dilarang merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara yang lain, dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara, swasta nasional/asing”. Sedangkan Pasal 28 (e) UU BPK menyatakan “Anggota BPK dilarang menjadi anggota Partai Politik. Pemohon menjelaskan dengan berlakunya kedua pasal tersebut hak konstitusionalnya untuk menduduki jabatan public terutama sebagai anggota BPK. Hal tersebut karena adanya keinginan dari Pemohon di kemudian hari, untuk menjadi anggota BPK.
Selain itu, para Pemohon berpotensial terlanggar dengan adanya Pasal 28 (e) UU BPK yang tidak jelas memberikan larangan bagi anggota partai politik untuk mengajukan diri sebagai anggota BPK. Menurut Pemohon, pemohon mengalami kesulitan untuk mengisi jabatan di BPK karena panitia yang menyeleksi dari DPR dapat pula mengajukan diri menjadi peserta seleksi. Pemohon menilai persyaratan yang ada menyebabkan advokat dan notaris seperti Pemohon akan sulit jika bersaing dengan anggota parpol, meski Pemohon merupakan warga negara yang memiliki hak konstitusional. (Lulu Anjarsari)