Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perbaikan perkara peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu Pemilukada). Banyak perbedaan perbaikan Perppu yang diajukan oleh kelima pemohon didalam proses sidang perbaikan permohonan.
Dalam sidang panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi,Maria Farida Indrati dengan anggota Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Aswanto, Kurniawan sebagai Pemohon Perkara Nomor 118/PUU-XII/2014 memperkuat pokok permohonannya dengan mengatakan KPU tidak memiliki kedudukan hukum untuk melangsungkan Pilkada pasca direvisinya UU No 32/2004 menjadi UU No 22/2014. “KPU tidak lagi mempunyai legal standing untuk melaksanakan Pilkada” ujarnya di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (26/11).
Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan Yanda Zaihifni Ishak, sebagai Pemohon Perkara Nomor 119/PUU-XII/2014. Ishak menyampaikan permasalahan lainnya seperti jual-beli partai,adanya ketentuan-ketentuan yang bersifat non demokratis, sampai kepada masalah kedudukan pemohon dan hak konstitusi yang dilanggar dengan adanya Perppu Nomor 1 tahun 2014 tersebut.
Sebelum berakhirnya sidang Panel, Majelis Hakim mengesahkan semua alat bukti yang diajukan Pemohon. Selanjutnya, permohonan yang diajukan pemohon akan disampaikan dalam Rapat Permusyawarahan Hakim (RPH) MK untuk ditindaklanjuti dan diselenggarakan Sidang Pleno dalam hal mendengarkan keterangan pihak pemerintah dan DPR, serta mendengarkan keterangan ahli.
Pada sidang perdana, Pemohon menilai pembentukan perpu dinilai cacat formil karena tidak memenuhi tiga alasan untuk presiden mengeluarkan perpu. Pertama, kebutuhan mendesak, kedua, undang-undang yang dibutuhkan belum ada, dan ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang.
Sedangkan pemohon perkara Nomor 118/PUU-XII/2014, Victor Santoso Tandiasa sebagai perwakilan dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi mengatakan permohonannya mengacu pada Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 mengenai kewenangan MK dalam menangani sengketa pilkada. “Di situ Mahkamah Konstitusi secara tegas mengatakan bahwa pilkada bukan rezim pemilu, oleh karenanya MK tidak berwenang menangani sengketa pilkada,” ujarnya.
Berdasarkan hal tersebut, Pemohon menilai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengamanatkan bahwa pilkada diselenggarakan melalui mekanisme perwakilan di DPRD sudah tepat karena telah membedakan antara rezim pilkada dengan rezim pemilu. Namun, perpu yang dikeluarkan menyatakan penyelenggaraan pilkada dalam perpu menggunakan Komisi Pemilihan Umum. Padahal, pemohon menilai KPU diatur oleh konstitusi sebagai lembaga independen yang menyelenggarakan pemilu yang lima tahun sekali, yakni pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden, dan DPRD.
“Artinya secara limitatif, konstitusi sudah mengatur bahwa KPU hanya untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang diselenggarakan secara lima tahun sekali dengan hanya untuk menyelenggarakan DPR, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden, bukan kepala daerah,” tegasnya.
Mengacu kepada aturan norma hierarki di bawah dari konstitusi, saat DPR mengesahkan UU 22/2014 tentang pilkada, dalam Pasal 70 dinyatakan bahwa saat undang-undang itu berlaku, segala pengaturan tentang pemilihan kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 15 Tahun 2011 telah dinyatakan dicabut.
Kendati undang-undang tersebut dicabut oleh perpu, namun Pemohon menilai aturan yang sudah dicabut tidak dapat dihidupkan kembali walaupun aturan yang mencabut itu dicabut oleh aturan yang lain. “Nah, kami menganggap bahwa ketika pengaturan pilkada sudah dicabut dalam Undang-Undang Pemilu, di situ kemudian sudah semakin menjelaskan bahwa pilkada bukan rezim pemilu. Artinya KPU tidak berwenang untuk menangani menyelenggarakan pemilu,” jelasnya.
Oleh karena itu, Pemohon menganggap pemberlakuan perpu dipaksakan, dan berpotensi menimbulkan polemik di masyarakat untuk mempertanyakan legitimasi penyelenggaraan pilkada oleh KPU secara konstitusionalitas norma. “Nah, ini yang kemudian menjadi kekhawatiran kami ke depan dari forum kajian hukum dan konstitusi,” ujarnya. (Revan Akbari/Bagus Pranowo/Hanifah)