Sidang lanjutan uji materi UU No. 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara - Perkara No. 54 /PUU-XII/2014 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (25/11) siang. Agenda sidang menghadirkan dua ahli, Philipus M. Hadjon dan Theodorus M. Tuanakotta Keduanya dihadirkan oleh Pihak Terkait, yakni BPK.
Philipus M. Hadjon mempersoalkan tiga pasal dalam UU No. 15/2006 tentang BPK. “Pasal pertama adalah Pasal 13, apa makna kata dapat dalam pasal ini?” ujar Philipus kepada Majelis Hakim. Selanjutnya Philipus mempertanyakan makna keterangan ahli pada Pasal 11 dan makna dibantu oleh perwakilan pada Pasal 34 ayat (1) UU a quo.
Terkait Pasal 13 UU No. 15/2006, jelas Philipus, kata dapat dalam pasal a quo mengandung makna wewenang diskresi. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU No. 15/2004, pemeriksaan keuangan negara terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan untuk tujuan tertentu. Pemeriksaan investigatif termasuk kategori pemeriksaan untuk tujuan tertentu. Dengan demikian pemeriksaan investigatif bukanlah pemeriksaan rutin seperti halnya pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.
“Hasil dari pemeriksaan investigatif adalah kesimpulan, penggunaan wewenang diskresi tunduk kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik, terutama larangan sewenang-wenang dan larangan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, penggunaan kata dapat janganlah diartikan wewenang sesuka hati yang merupakan tindakan sewenang-wenang. Kata dapat dalam terminologi teknis hukum tata negara dan hukum administrasi mengandung makna diskresi, bukan sesuka hati,” urai Philipus.
Berkaitan dengan keterangan ahli, kalau dikaitkan dengan Pasal 11 butir c UU No. 16/2006 adalah keterangan yang diberikan by reason or specialize experience dan secara khusus dalam pasal tersebut terkait kewenangan sebagai Badan Pemeriksa Keuangan.
“Selanjutnya pertanyaan ketiga, konsep dibantu oleh perwakilan. Pasal 34 ayat (1) a quo harus dibaca secara kontekstual, dengan demikian perwakilan adalah salah satu unsur yang membantu BPK. Bandingkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, ‘Presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden.’ Bandingkan juga Pasal 7 ayat (1) UUD 1945, ‘Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara’,” papar Philipus. Dengan pemahaman secara kontekstual, kata Philipus, makna dibantu oleh perwakilan bukan dibantu dan perwakilan adalah konteks dekonsentrasi. Dekonsentrasi berkaitan dengan bentuk organisasi pemerintahan yang sifatnya regional atau lokal.
Sementara itu Theodorus M. Tuanakotta menjelaskan kesalahpahaman yang sering terjadi dalam pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Kesalahpahaman yang pertama seolah-oleh ketiga jenis pemeriksaan ini berbeda mutu, yang satu mutunya lebih rendah dari yang lain, meski sebenarnya tidak demikian.
“Seolah-olah pemeriksaan kinerjanya yang paling rendah mutunya diikuti dengan pemeriksaan kinerja dan yang paling tinggi adalah pemeriksaan dengan tujuan tertentu, khususnya pemeriksaan investigatif, bukan demikian. Ini kekeliruan yang pertama,” kata Theodorus.
Kekeliruan yang kedua seolah-oleh pemeriksaan investigatif itu sama dengan investigasi, yang dikenal oleh para aparat penegak hukum. “Kesan ini juga kami dapatkan ketika penyusunan draf Undang-Undang BPK dan di situlah kami mulai memperkenalkan istilah pemeriksaan investigatif yang berbeda dengan investigasi,” tegas Theodorus. Perbedaan yang ketiga, ungkap Theodorus, seolah-olah hanya pemeriksaan investigatif yang bisa mengungkapkan kerugian keuangan negara, keliru. Semua pemeriksaan BPK dapat mengungkap kerugian negara.
Menanggapi pernyataan dua Ahli Pihak Terkait tersebut, kuasa hukum Pemohon, Yusril Ihza Mahendra menjelaskan bahwa permohonan Pemohon memang secara spesifik menguji pasal-pasal UU No. 15 Tahun 2004. Tapi satu hal yang dilupakan oleh Ahli Pihak Terkait, menurut Yusril pengujian ini mestinya dikaitkan dengan Pasal 184 KUHAP tentang Pembuktian dalam perkara pidana. “Persoalannya yang tadi dikemukakan Ahli Prof. Philipus, ada makna kata dapat dalam Pasal 13 UU No. 15/2004 yang mengandung makna diskresi. Kata dapat memang artinya diskresi. Bahwa diskresi itu bisa digunakan,” tandas Yusril.
Sebagaimana diketahui, Ir. Faisal selaku Pemohon mempermasalahkan frasa kata “dibantu ” dalam Pasal 34 ayat (1) tidak memiliki penafsiran yang pasti sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Pasal 23G ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu Pemohon mempersoalkan frasa kata “dapat” dalam Pasal 13 UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara bersifat multi tafsir sehingga bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum dan asas kepastian hukum dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (Nano Tresna Arfana)