Moskow, 16/11/2014. Bertempat di Kedutaan Besar RI untuk Rusia di Moskow, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia MK RI, Hamdan Zoelva, menggelar acara tatap muka dengan masyarakat Indonesia di Rusia serta para pemerhati Indonesia di Rusia. Acara yang dilaksanakan pada Sabtu, 15 November 2014 tersebut, tidak kurang dari 100 orang menghadiri acara yang digelar di Wisma Dutra Besar RI di Moskow, Rusia.
Selain dihadiri masyarakat dan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Rusia, hadir pula dalam acara tersebut beberapa mahasiswa asal Rusia dari berbagai universitas di Rusia. Sebagai besar dari mahasiswa tersebut saat ini sedang menekuni studi mengenai sastra, sejarah, dan budaya Indonesia.
Djauhari Oratmangun, Duta Besar RI untuk Rusia dan Bela Rusia, dalam acara tersebut menyampaikan rasa gembira dan terima kasih atas kehadiran Ketua MK, Hamdan Zoelva, di Rusia. Dauhari menyampaikan bahwa acara tatap muka Ketua MK Ri di Moskow merupakan salah satu rangkaian kegiatan kunjungan kerja Ketua MK di Rusia setelah pada 13 November 2014 melakukan penandatanganan Memorandum of Cooperation dengan MK Rusia di Saint Petersburg.
Mengawali acara tersebut, Djauhari Oratmangun menampilkan paduan suara siswa Indonesia di Sekolah Dasar Indonesia di Moskow. Anak-anak tersebeut menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dengan sangat bersemangat. Selain itu, lagu “Rayuan Pulau Kelapa” turut pula dinyanyikan. Bahkan, anak-anak tersebut menyanyikannya dalam dua versi, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Rusia. Penampilan anak-anak tersebut memukau para hadirin dan mengundang tepuk tangan meriah.
Setelah itu, Djauhari mempersilahkan Ketua MK RI, Hamdan Zoelva, untuk menyampaikan pemaranan terkait dengan MK dan penegakan hukum di Indonesia. Membuka pemarannya, Hamdan Zoelva menyebut perkembangan hukum dan demokrasi di Indonesia yang amat baik, setidaknya setelah 15 tahun memasuki era reformasi. MK RI dibentuk seiring Perubahan UUD 1945 yang dilaksanakan pada 1999-2002.
Sesuai dengan UUD 1945, Hamdan Zoelva menyebut MK RI memiliki 5 (lima) kewenangan konstitusional, yaitu (1) menguji undang-undang terhadap UUD 1945; (2) Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; (3) Memutus pembubaran partai politik; (4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilu; dan (5) Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Jika dikaitkan dengan perkembangan hukum dan demokrasi di Indonesia, menurut Hamdan Zoelva, pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut menujukkan kontribusi bagi penuntasan masa transisi demokrasi dan pencapaian tahap konsolidasi demokrasi. Mekanisme pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 atau dikenal sebagai judicial review merupakan upaya absah untuk menjamin dan memastikan bahwa norma dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi penuntun penyelenggaraan negara selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pada konteks ini, UU harus tunduk pada UUD sebagai the supreme law of the land sehingga ada batasan dan rambu-rambu konstitusional yang meniscayakan pembentuk UU tidak dapat sesuka hati membuat UU. Dalam kiprah MK selama ini, banyak Putusan MK dibuat dengan sadar berdasar semangat untuk mendukung upaya memperbaiki pembangunan politik dan penegakan hukum.
Lebih lanjut Hamdan Zoleva menyatakan, selama lebih dari 11 tahun, menurut pandangan publik MK memiliki andil besar menggerakkan demokrasi prosedural menuju demokrasi substansial. MK berperan menyeimbangkan demokrasi dan hukum. Dalam hal ini, produk demokrasi tidak serta merta berlaku mutlak, karena memungkinkan baginya untuk di-challange melalui mekanisme hukum.
Oleh karena itu, menurut Hamdan Zoelva, layak adanya jika MK dikatakan amat signifikan membenahi sistem politik, terutama karena MK dipercaya mampu melindungi demokrasi agar senantiasa berjalan seiring dan dalam koridor hukum. Dengan lain, MK menjaid instrumen penting untukmenciptakan keseimbangan hukum (nomokrasi) dengan demokrasi. (FLS)