Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Riyanti, seorang Alumnus Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta menguji Pasal 22 UU MK tentang aturan masa jabatan hakim konstitusi. Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan Nomor 131/PUU-XI/02014 ini digelar pada Kamis (20/11) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mengujikan Pasal 22 UU MK yang menyatakan “Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”.
Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan tersebut karena merasa khawatir dengan potensi terhambatnya proses rekrutmen hakim konstitusi oleh DPR. Pemohon bercermin pada munculnya perseteruan yang terjadi pada anggota DPR periode 2014-2019 sehingga yang dapat berimbas pada pemilihan hakim konstitusi apabila ada hakim yang habis masa jabatannya. “Pemohon khawatir akan berimbas kepada rekrutmen hakim konstitusi yang dipenuhi kepentingan politik dari masing-masing kubu,” jelasnya di hadapan Panel Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman dengan anggota Hakim Konstitusi Aswanto dan Wahiduddin Adams.
Selain itu, Pemohon juga menilai ketentuan tersebut telah memberikan perlakuan berbeda antara hakim konstitusi dengan hakim agung pada MA padahal diatur pada pengaturan yang sama yaitu Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Pemohon juga berpendapat berdasarkan Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012, MK dan MA merupakan lembaga yang setara, sehingga Pemohon menilai menjadi aneh jika masa jabatan hakim pada kedua lembaga tersebut berbeda atau dibedakan.
Lebih dari itu, Pemohon juga berpendapat bahwa norma yang ada pada Pasal 22 UU MK tidak selaras dengan Pasal 23 ayat (1) UU MK yang mengatur bahwa hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun, sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Aswanto meminta agar pemohon menguraikan alasan logis mengenai kekhawatirannya terhadap adanya keberpihakan kepada salah satu kubu. Selain itu, Aswanto meminta agar Pemohon juga mencantumkan perbandingan masa jabatan hakim pada mahkamah konstitusi negara lain. “Untuk lebih meyakinkan hakim, perlu pemohon bandingkan masa jabatan hakim di mahkamah beberapa negara, baik MK maupun MA,” ujarnya.
Sedangkan Wahiduddin menyarankan agar pemohon memikirkan kembali kedudukan hukum pemohon. Menurutnya pemohon harus menguraikan dengan detail kerugian konstitusional yang dialaminya. “Sebagai pembayar pajak, apa kerugian yang dialami pemohon dengan berlakunya pasal-pasal tersebut? Itu harus diuraikan,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)