Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengajukan gugatan terhadap ketentuan komposisi dan mekanisem pengisian pimpinan DPRD dalam Undang-Undang MD3. Sidang perdana perkara No. 123/PUU-XII/2014 dan No. 124/PUU-XII/2014 ini digelar Rabu (19/11) di Ruang Sidang Pleno dengan dihadiri kuasa hukum masing-masing Pemohon. Muhammad Syukur Mandar menyampaikan poin-poin permohon yang dimohonkan oleh Jimmy Willbaldus Sianto, Yucundianus Lepa, dan Jefri Unbanunaek selaku Pemohon perkara No. 123/PUU-XII/2014. Sementara itu, Mohamad Sangaji, Veri Yonnevil, dan Wibi Andrino selaku Pemohon perkara No. 124/PUU-XII/2014 diwakili oleh Ramdan Alamsyah selaku kuasa hukum.
Memulai sidang, Muhammad Syukur mendapat kesempatan lebih dulu untuk menyampaikan pokok-pokok permohonan Pemohon No. 123/PUU-XII/2014. Ia menjelaskan bahwa Pemohon menilai proses pengisian dan pengangkatan alat kelengkapan DPRD telah menghilangkan hak-hak konstitusional Pemohon. Sebab, Pasal 327 ayat (2) UU MD3 mengatakan bahwa pimpinan DPRD atau ketua DPRD berasal dari partai pemenang. Ketentuan tersebut menurut Pemohon menyebabkan partai dengan perolehan kursi terbanyak di DPRD secara otomatis akan menjadi pimpinan DPR. “Hal ini kami pandang bertentangan dengan proses pengisian dan pengangkatan pimpinan DPR yang juga alat kelengkapan di tingkatan DPR,” ujar Muhammad Syukur membandingkan dengan komposisi pimpinan di DPR.
Selain itu, ketentuan mengenai proses pengisian dan penempatan pimpinan DPRD menurut Pemohon tidak mengakomodasi kepentingan hukum mereka. Akibat ketentuan tersebut, Pemohon yang merupakan anggota DPRD Provinsi NTT menjadi kehilangan kesempatan untuk ikut dalam proses pemilihan alat kelengkapan DPR. Pemohon menilai hal ini dikarenakan Pasal 327 ayat (2) UU MD3 dengan tegas telah menghilangkan hak atau kesempatan Pemohon.
“Dengan diterapkan sistem perolehan suara terbanyak atau perolehan kursi dalam ketentuan Pasal 327 ayat (2) ini tidak memberikan jaminan terhadap terlaksananya proses pengisian alat kelengkapan DPR berdasarkan kemampuan. Sekaligus, berdasarkan mekanisme demokrasi sebagiamana dianut dalam proses pengangkatan pimpinan DPR di tingkat DPR,” tegas Muhammad Syukur.
Dengan kata lain, Muhammad Syukur menjelaskan bila ketentuan tersebut terus diterapkan maka proses pengangkatan pimpinan alat kelengkapan DPRD yang didominasi oleh partai-partai pemenang Pemilu akan mengabaikan kompetensi sekaligus kemampuan anggota DPRD dalam pengisian alat kelengkapan DPR. Ketentuan tersebut juga tidak sejalan dengan ketentuan pengisian alat kelengkapan di tingkat pusat, yaitu di DPR. Menurut Muhammad Syukur, di DPR menggunakan sistem paket untuk memberikan kewenangan kepada perorangan sebagai anggota DPR untuk dapat memilih dan dipilih.
Dengan perbedaan mekanisme pengisian alat kelengkapan di DPRD dengan DPR menurut Pemohon, seperti yang diutarakan Muhammad Syukur, telah menimbulkan ketidakpastian hukum. “Rumusan Pasal 327 ayat (2) dan ayat (3) adalah rumusan pasal yang menerapkan standar ganda dalam hukum. Sehingga, selain membuat ketidakselarasan hukum juga melahirkan diskriminasi kewenangan dan mencederai demokrasi,” tukas Muhammad Syukur di hadapan panel hakim yang diketuai Wahiduddin Adams.
Penambahan Pimpinan DPRD
Sementara itu Ramdan Alamsyah yang juga merupakan anggota DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019 menyampaikan pokok-pokok permohonan perkara No. 124/PUU-XII/2014. Ramdan mengatakan pihaknya melakukan gugatan terhadap Pasal 327 ayat (1) huruf a UU MD3 yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Ramdan menyampaikan pihaknnya menganggap pasal 327 ayat (1) huruf a mengandung sifat multitafsir. Padahal, para Pemohon berhak memperoleh kesempatan dan memanfaatkan yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam naungan negara hukum. Ketentuan tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut.
Pasal 327
(1) Pimpinan DPRD provinsi terdiri atas: a. 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua untuk DPRD provinsi yang beranggotakan 85 (delapan puluh lima) sampai dengan 100 (seratus) orang;
Ketentuan a quo dianggap tidak mengakomodasi keadaan yang terjadi di DPRD DKI Jakarata. Sebab, jumlah Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta pada periode 2009-2014 sebanyak 106 orang. Dengan demikian, Ramdan mengatakan pengaturan Pasal 327 ayat (1) huruf a UU MD3 telah memengaruhi penentuan jumlah ketua dan wakil ketua pimpinan DPRD provinsi. “Mencermati Pasal 327 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, Pemohon memahami bahwa konstruksi hukum yang dibangun dalam perspektif pengaturan jumlah ketua dan wakil ketua DPRD provinsi merupakan prosedural formal semata-mata tanpa memperhatikan fakta-fakta yang selama ini berkembang. Padahal, faktanya jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat DKI Jakarta saat ini berjumlah 106 yang tentunya akan berpengaruh terhadap susunan dan kedudukan dari pimpinan dewan pada DPRD Provinsi DKI Jakarta,” jelas Ramdan.
Dengan kata lain, Pasal 327 ayat (1) UU MD3 dianggap belum mengakomodasi DPRD dengan jumlah anggota lebih dari 100 orang seperti yang terjadi di DPRD DKI Jakarta. Menurut Ramdan dengan adanya peningkatan jumlah anggota DPRD DKI Jakarta maka harus diimbangi dengan penambahan pimpinan dewan.
“Menurut Pemohon penambahan satu wakil ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta dari empat wakil ketua menjadi lima wakil ketua mengikuti jumlah anggota dewan yang saat ini sebanyak 106 anggota,” harap Ramdan. (Yusti Nurul Agustin)