Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) mengajukan pengujian ketentuan mengenai uji kompetensi dokter dan program pendidikan dokter layanan primer. Sidang perdana pengujian ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran tersebut digelar Selasa (18/11). Muhammad Joni selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan bahwa ketentuan tersebut telah merusak tatanan sistem praktek kedokteran, terutama kedokteran umum.
Dalam permohonan Perkara No. 122/PUU-XII/2014, Pemohon mengajukan pengujian terhadap ketiga belas pasal dalam UU Pendidikan Kedokteran. Pasal-pasal yang diujikan, antara lain Pasal 1 angka 9, Pasal 7 ayat (5) huruf b dan ayat (9), Pasal 8, Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran.
Menurut Pemohon, seperti yang disampaikan Joni, Pasal 1 angka 9 UU a quo tidak memiliki kepastian hukum. Sebab, pasal tersebut mengaburkan definisi dokter dengan memunculkan frasa “dokter layanan primer”. Ketentuan tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut.
Pasal 1
9. Dokter adalah dokter, dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah
Ketentuan pada Pasal 1 angka 9 UU Pendidikan Kedokteran tersebut menurut Pemohon berbeda dengan definisi dokter dalam UU Praktik Kedokteran. Dalam UU Praktik Kedokteran dinyatakan dokter adalah dokter dan dokter spesialis. Dengan adanya frasa “dokter layanan primer” dalam UU Pendidikan Kedokteran menurut Pemohon menyebabkan kerancuan dalam upaya memiliki pengakuan atas kompetensi profesi, legalitas, prosedur formal syarat registrasi, perizinan , dan gelar profesi.
“Ketentuan-ketentuan mengenai dokter layanan primer ini dengan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran seakan-akan menciptakan kelas baru dokter yang selama ini ada di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran. Dokter adalah dokter dan dokter spesialis/subspesialis dan secara praktik maupun secara profesi tidak dikenal dokter layanan primer,” jelas Joni.
Terlebih, bila dilihat pada pasal-pasal lain dalam UU Pendidikan Kedokteran, dokter layanan primer secara kompetensi masuk dalam kualifikasi dokter umum. Sebab, dokter layanan primer didefinisikan sebagai pelayan pada fasilitas pelayanan tingkat pertama. Menjadi lebih rancu ketika pada Pasal 8 ayat (3) UU a quo ditegaskan bahwa program dokter layanan primer bukan masuk kualifikasi dokter spesialis, namun pendidikan setara spesialis.
Dualisme Uji Kompetensi
Pemohon juga menguji ketentuan terkait uji kompetensi yang harus dilakukan untuk menyelesaikan program profesi dokter. Ketentuan tersebut tercantum dalam
Pasal 36 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut.
Pasal 36
(1) Untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, Mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi
(2) Mahasiswa yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi
(3) Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan
Organisasi Profesi
Ketentuan tersebut menurut Pemohon menyebabkan tidak adanya jaminan kepastian sistem atas profesi dokter. Sebab, dalam ketentuan tersebut terdapat dualisme lembaga yang berwenang menyelenggarakan uji kompetensi dokter. Selain itu, Pemohon juga menuding ada dua lembaga yang dapat mengeluarkan sertifikat kompetensi dokter. (Yusti Nurul Agustin)