Nico Indra Sakti, seorang warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas pemberlakuan sejumlah norma dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) memperbaiki permohonannya sesuai nasihat Majelis Hakim pada sidang sebelumnya.
Adapun pokok-pokok perbaikan yang dilakukan Nico antara lain memadatkan permohonannya dengan mengeliminasi uraian peristiwa konkret menjadi tidak terlampau dominan dan detail. Selain itu, Pemohon juga memperbaiki posita atau pokok permohonannya. “Pemohon telah mengelaborasi peristiwa konkret pelanggaran Pasal 2 huruf e UU Peradilan TUN terhadap pelanggaran Undang-Undang Dasar Tahun1945,” ujarnya dalam sidang perkara nomor 113/PUU-XII/2014 yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Selasa (18/11).
Terkait dengan itu, Pemohon pun mengganggap penting untuk menambahkan batu uji, yakni Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 mengenai kewajiban menghormati hak asasi manusia dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut menyangkut sengketa kepentingan Pemohon dengan penguasa di bidang hukum.
“Pemohon juga telah memperbaiki posita agar Pasal 2 huruf e UU Peradilan Tata Usaha Negara tidak hanya menyangkut tentang penafsiran atau penerapan saja, tetapi keberlakuan dari norma a quo itu sendiri yang diabaikan oleh seluruh pejabat tata usaha negara baik pada organ eksekutif maupun yudikatif, sehingga melanggar konstitusi,” jelasnya.
Menanggapinya, anggota panel Hakim Konstitusi Muhammad Alim menasihati bahwa masih ada kesalahan teknis, antara lain kesalahan ketik dalam permohonan tersebut. Selain itu ada beberapa ayat dalam UUD 1945 yang menjadi batu uji yang tidak dicantumkan dalam permohonan. “Nanti saudara perbaiki yah. Karena ini sudah lewat batas waktu, nanti di-renvoi saja,” ujarnya.
Sebelumnya, Pemohon merasa ketentuan Pasal 2 huruf e UU Peradilan Tata Usaha Negara telah menghilangkan, membatasi, atau setidak-tidaknya telah menghalang-alangi haknya untuk melakukan upaya hukum, terutama hak untuk mengajukan pemeriksaan sengketa terhadap keputusan Tata Usaha Negara organ yudisial. Hal tersebut berawal dari tidak diterimanya permohonan pemeriksaan gugatan yang diajukan oleh Pemohon terhadap Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara pada organ yudikatif.
“Tidak masuk akal ketika gugatan tidak diterima dengan alasan yang digugat adalah pejabat TUN organ yudikatif, yakni Ketua PN Jaksel dan merupakan hasil pemeriksaan badan peradilan. Pelanggaran bukan hanya dilakukan pejabat orga eksekutif, tapi juga yudikatif,” ungkapnya.
Lebih lanjut, menurutnya, Pasal 2 huruf e Undang-Undang a quo dapat disalahgunakan oleh penyelenggara peradilan untuk melindungi keputusan Pejabat Tata Usaha Negara organ yudikatif yang ilegal. Pasal tersebut juga disalahgunakan oleh Peradilan Tata Usaha Negara untuk menggagalkan upaya pencari keadilan dalam mencari kebenaran materiil.
Adapun Pasal 2 huruf e UU Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan:
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:
...
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemohon juga menguji materi Pasal 62 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU Peradilan Tata Usaha Negara. Menurutnya, ketentuan tersebut bertentangan dengan sistem dua tingkat penyelenggaraan pengadilan sebagaimana diatur pada Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 sehingga bertentangan dengan penegakkan hukum dan keadilan serta merusak sistem hukum. (Lulu Hanifah)