Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua pada Senin (17/11) siang. Pemohon adalah Lenis Kogoya (Ketua Lembaga Masyarakat Adat Provinsi Papua) dan Paskalis Netep (Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Provinsi Papua).
Norma yang diujikan Pemohon adalah Pasal 6 ayat (2) UU No. 21/2001 yang menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain itu Pasal 6 ayat (4) UU No. 21/ 2001 yang menyebutkan, “Jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.”
“Keanggotaan DPRP yang diangkat diatur melalui Perdasus, namun Perdasus yang mengatur keanggotaan DPRP yang diangkat untuk periode masa jabatan 2004 sampai 2009 belum diatur. Akibatnya keanggotaan DPRP melalau pengangkatan tidak dapat dilakukan,” ujar Lenis Kogoya kepada Majelis Hakim Konstitusi.
Selain itu, ujar Lenis, rumusan Pasal 6 ayat (4) UU Otonomi Khusus Provinsi Papua seharusnya dimaknai sejak pengisian anggota DPRP Provinsi Papua masa jabatan periode 2004 - 2009 dengan masa jabatan periode 2009 - 2014, semestinya menggunakan anggota DPRD Provinsi Papua bukan menggunakan DPRP.
“Sebaliknya apabila pengisian ¼ keanggotaan DPRP yang dilakukan melalui pengangkatan, maka dapat sebut DPRP. Dengan demikian, segala tindakan hukum yang dilakukan keanggotaan DPRP masa jabatan periode 2004-2009 dan masa jabatan 2009-2014 yang melalui pemilihan umum dengan menggunakan atas nama DPRP serta menjalankan tugas dan kewenangan DPRP berdasarkan Pasal 7 UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua adalah keliru dan cacat hukum,” papar Lenis.
“Adanya pengaturan pengangkatan anggota DPRP disebabkan jumlah orang asli Papua yang menjadi anggota DPRD Provinsi Papua sangat sedikit. Sehingga dalam berbagai kebijakan dalam perlindungan, keberpihakan, penghormatan, pemajuan, dan pengakuan terhadap masyarakat orang asli Papua tidak terlindungi bahkan dapat mengancam eksistensi keberadaan orang asli Papua di atas tanahnya sendiri,” tegas Lenis.
Pertajam Permohonan
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Aswanto mengatakan, “Dalam permohonan Bapak tidak menyinggung pasal berapa yang dijadikan dasar pengujian UUD 1945. Sekalipun di lampiran bukti, Bapak mengajukan Pasal 24 UUD 1945 sebagai dasar pengujian. Namun hal ini belum diuraikan dalam permohonan.”
Di samping itu Aswanto menyarankan kepada Pemohon agar menjabarkan potensi pasal-pasal UU a quo yang dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon. “Paling tidak, Bapak mencari contoh permohonan yang sudah masuk di MK. Karena untuk beracara di MK, ada peraturan MK yang mengatur cara menyampaikan permohonan,” ungkap Aswanto kepada Pemohon.
Sementara itu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan agar Pemohon mempertajam permohonannya. Di antaranya, Wahiduddin mempertanyakan identitas Pemohon sebagai Ketua Lembaga Masyarakat Adat Provinsi Papua dan Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Provinsi Papua. “Dengan demikian, Saudara harus bisa memberikan bukti bahwa Saudara mewakili masyarakat adat Papua,” kata Wahiduddin. (Nano Tresna Arfana)